UU Ormas Mulai Memakan Korban
Masyarakat sipil mulai merasakan dampak negatif implementasi UU No.
17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Di lapangan,
aparat pemerintah justru menanggapi dan menjalankan aturan UU Ormas
secara berlebihan. Yang paling merasakan dampaknya adalah lembaga
swadaya masyarakat (LSM) dan Serikat Pekerja (SP).
Berdasarkan pemantauan Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) selama enam
bulan terakhir dampak negatif UU Ormas mulai kelihatan. Sejumlah LSM
diancam yang kritis kepada pemerintah daerah setempat diancam
dibubarkan, dan ada SP yang tak diperkenankan ikut dalam forum
ketenagakerjaan.
Koordinator KKB, Fransisca Fitri, menjelaskan ada LSM dan SP yang
diancam dibekukan, bahkan dituduh ilegal. Ancaman itu muncul di Lombok
Utara, Bandung Barat, Lombok Tengah, dan Sumatera Utara. Forum Indonesia
untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Sumatera Utara misalnya. Forum ini
berbentuk yayasan sehingga tunduk pada UU Yayasan. Tetapi Fitra tak
dilayani ketika minta informasi dengan dalih tak terdaftar di Kesbangpol
Linmas.
Di Lombok Tengah lain lagi ceritanya. Kesbangpol setempat mengancam
membubarkan Konsorsium Lombok Tengah karena tidak punya izin, papan
nama, dan kantor. Konsorsium ini dituding ilegal. Padahal selama ini
Konsorsium menjadi mitra pemda setempat. “Ketika UU No.17 Tahun 2013
tentang Ormas diterapkan, mereka dianggap ilegal,” jelas Fitri dalam
jumpa pers yang digelar KKB di Jakarta, Kamis (13/3).
Lain pula yang dialami salah satu SP di Kabupaten Singkil, Nanggroe
Aceh Darussalam. SP yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja
Indonesia (KSPI) tidak dapat menempati posisi sebagai anggota Lembaga
Kerja Sama Tripartit Daerah. Sebab, dianggap tidak mendapat persetujuan
dari Kesbangpol Pemda setempat.
Fitri berpendapat peristiwa serupa bakal terus terjadi karena UU
Ormas membuka peluang terjadinya hal tersebut. Pasalnya, ketentuan yang
tercantum dalam UU Ormas sangat luas sehingga dapat ditafsirkan
berbeda-beda oleh aparat di lapangan. Misalnya, ketentuan pendaftaran
kepada seluruh ormas ke Kesbangpol tidak disebut secara tegas dalam UU
Ormas. Namun praktiknya di lapangan, Kesbangpol di daerah menganggap
pendaftaran Ormas itu wajib. Sehingga Ormas yang tidak mendaftar ke
Kesbangpol dituduh ilegal dan dapat dibubarkan.
Untuk membenahi masalah tersebut Fitri berharap Mahkamah Konstitusi
(MK) membatalkan UU Ormas. KKB sudah mengajukan Judicial Review (JR)
terhadap UU Ormas ke MK dan prosesnya masih berjalan. Sekalipun MK
membatalkan UU Ormas itu bukan berarti ada kekosongan hukum. Sebab ada
peraturan yang lebih tepat untuk mengatur Ormas yaitu UU Yayasan dan
Perkumpulan. Untuk Ormas yang tidak berbadan hukum, Fitri menyebut
ketentuan yang ada dalam konstitusi sudah cukup menjamin keberadaan
Ormas tersebut “Relasi negara dan organisasi masyarakat sipil harus
dibangun. Masyarakat sipil jangan dilihat sebagai ancaman,” ucapnya.
Pada kesempatan yang sama Direktur Eksekutif TURC sekaligus salah
satu ahli yang dihadirkan KKB dalam persidangan JR UU Ormas di MK, Surya
Tjandra, mengatakan dampak yang ditimbulkan dari implementasi UU No.17
Tahun 2013 tentang Ormas sangat serius. Pasalnya, regulasi itu
melemahkan masyarakat sipil yang sadar berserikat seperti pekerja,
petani dan kaum miskin.
Padahal, Surya melihat kesadaran untuk berserikat itu membutuhkan
waktu yang lama sejak bergulirnya reformasi. Sayangnya, pemerintah dan
DPR menganggap kesadaran rakyat untuk berserikat itu sebagai ancaman.
Oleh karenanya dibutuhkan regulasi yang membatasi, salah satunya UU
No.17 Tahun 2013 tentang Ormas.
Khusus SP, Tjandra mengatakan UU Ormas tidak selaras dengan UU No.21
Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja. Sebab, hak pekerja untuk berserikat
dilindungi UU Serikat Pekerja. Bahkan, ada ancaman pidana bagi pihak
yang menghalang-halangi pekerja untuk membentuk SP. Adanya pengekangan
terhadap SP itu mengingatkan Tjandra pada kebijakan masa pemerintahan
Orde Baru. Dimana SP dikendalikan secara ketat oleh pemerintah.
Menurut Tjandra, proses pembentukan SP sebagamana UU SP sangat mudah
dan tidak perlu melapor ke Kesbangpol. Mengacu UU SP, pembentukan SP
hanya membutuhkan 10 orang pekerja di sebuah perusahaan dan
memberitahukan AD/ART SP ke Sudinakertrans setempat. Setelah mendapat
surat bukti pencatatan maka SP yang bersangkutan dinyatakan sah. “ Tapi
dengan hadirnya UU Ormas, itu muncul lagi untuk mendaftar ke Kesbangpol.
Itu pada masa Orde Baru memang begitu,” paparnya.
Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti, menilai UU Ormas yang
baru diterbitkan tak bedanya seperti UU Ormas sebelumnya yang
diterbitkan pada masa pemerintahan Orde Baru. Sebab kedua regulasi itu
dinilai punya tujuan yang sama yaitu pengendalian oleh pemerintah
terhadap organisasi masyarakat sipil. Bahkan yang menginisiasi terbitnya
UU Ormas masih sama seperti dulu yaitu Kemendagri. Sejak regulasi itu
berbentuk RUU, Poengky mengatakan Koalisi sudah menolak untuk
diterbitkan. Sebab isinya dianggap tidak selaras dengan HAM. “Kami
maunya UU Ormas lama dicabut dan tidak usah dibikin UU Ormas baru.
Pemerintah hanya cukup bahas RUU Perkumpulan,” papar Poengky.
Mengingat UU Ormas telah diberlakukan, KKB mengajukan judicial review
ke MK. Selain itu Poengky mengatakan koalisi bakal mengkampanyekan
kepada seluruh masyarakat untuk tidak memilih anggota DPR yang
mengesahkan UU Ormas.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5321da472379e/uu-ormas-mulai-memakan-korban
Tidak ada komentar