Diberi diskon BK, Freeport balas pemerintah dengan ‘air tuba’
Sikap pemerintah yang tak lagi galak, akibat data anjloknya ekspor
dan defisit neraca perdagangan, bagaikan air susu dibalas air tuba.
Mulanya, pelonggaran bea keluar diharapkan menstimulus perusahaan
tambang manapun menunjukkan keseriusan membangun instalasi smelter.
Faktanya, Freeport sampai sekarang belum melakukan proses perizinan
ke Kementerian ESDM. Baik itu menyerahkan hasil studi kelaikan
(feasibility study/FS) dan uang jaminan pembangunan smelter. “Baru
menyatakan mereka setuju membangun, sampai sekarang mereka belum follow
up,” kata Menteri Perindustrian MS Hidayat di Jakarta kemarin.
Tak cuma soal smelter, Freeport bersama Newmont tetap kompak menolak
usulan renegosiasi kontrak karya pertambangan. Dari 112 perusahaan
tambang yang menjalankan aktivitasnya di Indonesia, baru 25 perusahaan
pemegang Kontrak Karya maupun Perjanjian Kontrak Pengusahaan
Pertambangan Batu Bara (PKP2B) yang sudah setuju renegosiasi kontrak
karya.
“Freeport dan Newmont belum selesai (renegosiasinya),” ujar Menteri
ESDM Jero Wacik usai rapat koordinasi di Gedung Kemenko Perekonomian.
Rangkaian kisah ‘air susu’ pemerintah dibalas dengan ‘air tuba’ oleh
korporasi tambang AS ini bermula pada akhir Januari lalu. CEO Freeport
McMoran Copper & Gold Inc Richard C. Adkerson dari kantornya di New
York, Amerika Serikat mendadak, menyambangi jantung pemerintahan
Indonesia di Jakarta.
Dia mempertanyakan alasan di balik kebijakan Bea Keluar progresif
untuk komoditas konsentrat mineral. Beleid itu keluar tak lama setelah
pemerintah melarang sepenuhnya ekspor bahan mineral mentah per 12
Januari.
Aturan dirancang Kementerian Keuangan itu membuat anak usahanya, PT
Freeport Indonesia, terbebani pajak ekspor 25 persen. Sesuai Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) nomor 6 Tahun 2014, seluruh perusahaan tambang
akan kena bea keluar bervariasi, bila produk tambang mereka baru diolah
hingga kadar 30 persen.
Beleid ini merupakan senjata utama supaya semua perusahaan tambang,
termasuk Freeport dan PT Newmont Nusa Tenggara yang selama ini banyak
mengekspor bahan mentah saja, tunduk pada amanat UU Mineral dan Batu
Bara (Minerba), populer disebut hilirisasi.
Dalam bayangan Kemenkeu, bea keluar itu dirancang progresif dan naik
saban enam bulan. Sehingga pada 2017, jika berkeras tak membangun
smelter, Freeport dan ratusan perusahaan ‘mbalelo’ lainnya sama saja
dilarang mengekspor hasil tambangnya. Sebab beban pajak mereka per
komoditas bisa mencapai 60 persen.
Freeport Indonesia langsung memelas dan meminta keringanan.
Perusahaan berlokasi di Timika, Papua itu mengaku kesulitan menjalani
tuntutan pemerintah. Sejak ada pelarangan ekspor, volume penjualan
bulanan yang dihentikan mencapai 40 juta pound tembaga dan emas sebanyak
80 ribu ons.
Itu jadi alasan Richard, sang bos besar, datang langsung dan melobi
beberapa pejabat penting pemerintahan. Mulai dari Menteri Perindustrian
MS Hidayat , Menteri Keuangan Chatib Basri , Menko Perekonomian Hatta
Rajasa dan terakhir Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero
Wacik .
Pada 31 Januari lalu, tak lama setelah lawatan bos Freeport usai,
mayoritas pejabat mengklaim enggan memberi keringanan pada perusahaan
Amerika Serikat ini.
Dirjen Minerba Kementerian ESDM R Sukhyar menegaskan, pemerintah
tidak akan memberikan keringanan terkait bea keluar (BK) mineral mentah
kepada perusahaan tambang yang tak serius membangun pabrik pengolahan
dan pemurnian atau smelter. “BK harus tetap dilaksanakan,” ujarnya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa juga
mengisyaratkan menolak permintaan Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc
soal pelonggaran bea keluar ekspor mineral progresif. “Sejauh ini belum
ada perubahan apa-apa. Intinya adalah bagaimana smelter dibangun
secepat mungkin karena itu perintah undang-undang,” tegas Hatta.
Nyatanya kasak-kusuk itu terus berkembang. Pemerintah kabarnya sedang
menyiapkan rencana memuluskan keinginan Freeport soal keringan bea
keluar ekspor konsentrat.
Momentum pengumuman data neraca perdagangan Januari 2014 oleh Badan
Pusat Statistik (BPS) semakin membuat pemerintah kebakaran jenggot.
Indonesia mengalami defisit USD 430,6 juta karena sektor tambang tak
lagi menyumbang banyak devisa selepas 12 Januari. Ini akibat beleid bea
keluar yang dinilai terlalu kaku.
Setidaknya itulah anggapan Kepala Ekonom Danareksa Research Institute
Purbaya Yudhi Sadewa. “Angka 25 persen itu yang sebetulnya mengganggu
kan, bukan UU itu sendiri. Tarif ekspor sebesar itu yang mungkin
mengganggu aktivitas industri,” ucapnya.
Wakil Menteri ESDM Susilo Siswo Utomo akhirnya angkat bicara. Dia
mengaku sedang merancang mekanisme diskon bea keluar, sehingga
perusahaan yang berniat membangun smelter tetap bisa mengekspor dalam
volume besar.
Freeport dan Newmont , dua perusahaan paling gencar berkampanye
menentang ketatnya ekspor konsentrat, memang sudah membuat nota
kesepahaman (MoU) membangun smelter. Perusahaan lokal digandeng misalnya
PT Aneka Tambang dan PT Indosmelt.
Masalahnya, buat Menteri Keuangan Chatib Basri , MoU bukan perjanjian
mengikat dalam praktik bisnis. Dua perusahaan AS itu harus serius
menanamkan modal jika ingin dapat keringan bea keluar.
Sikap keras bendahara negara tidak diikuti koleganya di sektor
pengelolaan tambang. Atas saran dari Kementerian ESDM, kini Kemenkeu
sedang membahas revisi PMK 6/2014.
“Mekanismenya kalau dari tim tarif, kalau memang mau diubah harus
diubah dari usulan sektor. Saya belum menerima seperti apa dari ESDM,”
kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Andin
Hadiyanto dua hari lalu.
Walau kemungkinan besar akan meloloskan usulan Kementerian ESDM itu,
Andin menyatakan timnya akan tetap melakukan kajian. Kemenkeu ogah jika
pelonggaran BK pada akhirnya tidak berdampak pada peningkatan keseriusan
perusahaan tambang membangun smelter. “Dari sisi teknis, kita harus
lihat kajian hukumnya, efektivitasnya. Jangan sampai peraturan itu tidak
berjalan,” kata Andin.
Diskon bea keluar ini akan diberikan pada perusahaan manapun yang
serius menunjukkan niat membangun instalasi pengolahan tambang, hingga
periode 2017. Kebijakan itu berlaku untuk semua jenis perusahaan yang
menggali mineral tapi belum dimurnikan.
Syarat pemberian pelonggaran itu adalah perseroan wajib menyerahkan
hasil Feasibility Study (FS). Selain itu, perlu diberikan uang jaminan
sebagai bentuk keseriusan perusahaan tambang melakukan pemurnian
konsentrat di dalam negeri. Besaran uang jaminan sekitar 5 persen dari
investasi smelter yang dilakukan.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian MS Hidayat yang juga mengetahui
rencana diskon BK, membantah ada desakan dari Freeport dan Newmont . Dia
menegaskan pemerintah tidak sedang mengistimewakan dua perusahaan
Amerika Serikat itu saja. “Keringanan itu untuk semua perusahaan tambang
yang bisa memenuhi syarat yang diajukan,” cetusnya.
http://www.merdeka.com/uang/diberi-diskon-bk-freeport-balas-beri-pemerintah-air-tuba.html
Tidak ada komentar