Perjanjian Pemborongan di Mata Pekerja
Sekjen Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit (FSPTSK)
Indra Munawar menilai frasa “demi hukum” dalam Pasal 59, Pasal 65, dan
Pasal 66 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan wujud keadilan
dalam pembuatan perjanjian kerja. Sebab, frasa “demi hukum” sudah sangat
jelas diberlakukan seketikaatau serta merta ketika syarat perjanjian
kerja waktu tertentu (PKWT) tidak terpenuhi.
Misalnya, Pasal 59 ayat (7) yang menyebutkan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (PKWT) yang tidak memenuhi ketentuan ayat (1), (2), (4), (5),
(6), demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).
“Jadi tidak beralasan hal itu dimintakan putusan pengadilan terlebih
dahulu,” kata Indra Munawar saat memberi keterangan selaku pihak terkait
dalam pengujian UU Ketenagakerjaan yang dimohonkan Asosiasi Pengusaha
Indonesia (Apindo) di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Kamis (13/3).
Indra mengatakan dengan batalnya perjanjian kerja demi hukum,
sesungguhnya tak ada perjanjian antara pekerja dengan pengusaha.
Karenanya, dengan tidak ada perjanjian kerja sesuai Penjelasan Pasal 60
UU Ketenagakerjaan, syarat masa percobaan kerja harus dicantumkan dalam
perjanjian kerja.
“Apabila perjanjian kerja dilakukan secara lisan, syarat masa
percobaan kerja harus diberitahukan kepada pekerja yang bersangkutan dan
dicantumkan dalam surat pengangkatan,” ujar pria yang pernah terlibat
dalam tim kecil dalam pembahasan RUU Ketenagakerjaan bersama Apindopada
akhir 2002 ini.
Dalam hal tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja atau dalam surat
pengangkatan, ketentuan masa percobaan dianggap tidak ada.Dengan begitu,
pekerja/buruh telah menjadi PKWTT terhitung sejak terjadinya hubungan
kerja antara pekerja dengan pengusaha.
“Demikian pula, Pasal 65 dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan merupakan
lingkaran perlindungan bagi pekerja ketika dipekerjakan di perusahaan
pemberi pekerjaan (pemborongan) atau mempekerjakan buruh melalui
perusahaan penyedia jasa pekerjaan (outsourcing)”.
Atas dasar itu, menurutnya ketentuan Pasal 59, Pasal 65 dan Pasal 66
telah memberi perlindungan secara adil kepada pekerja/buruh. Terlebih,
dalam Putusan MK No. 27/PUU-IX/2011tanggal 17 Januari 2012, MK telah
memberi tafsir bersyarat terhadap frasa PKWT dalam Pasal 65 ayat (7) dan
Pasal 66 ayat (2) huruf b UU Ketenagakerjaan.
“Frasa PKWT dalam kedua pasal itu dinyatakan bertentangan dengan UUD
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kecuali ditambahkan
persyaratan sebagai berikut: “……..dengan syarat adanya pengalihan
perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada,
walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian
pekerjaan borongan dari perusahaan lain….,” ujarnya mengutip putusan.
Dalam putusan itu, MK menentukan dua model bentuk perlindungan
hak-hak pekerja untuk menghindari perusahaan mengeksploitasi pekerja.
Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja dan
perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT,
tetapi berbentuk PKWTT. Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan
perlindungan bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan
pekerjaan outsourcing.
Sebelumnya, pengurus Apindo mempersoalkan Pasal 59 ayat (7), Pasal 65
ayat (8), Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan. Pemohon berdalil Pasal
59 ayat (1), (2) yang mengatur syarat PKWT tidak memberi penafsiran yang
pasti. Terlebih, putusan MK No. 27/PUU-IX/2011 telah menyatakan
pelanggaran Pasal 59 bukan persoalan konstitusionalitas norma, melainkan
persoalan implementasi.
Menurutnya, penerapan Pasal 59 ayat (7) yang mengatur akibat batal
demi hukum perubahan PKWT menjadi PKWTT jika tak penuhi syarat menjadi
multitafsir baik pemerintah, pengusaha, maupun pekerja.Faktanya,
implementasi Pasal 59 ayat (7) UU Ketenagakerjaaan menjadi persoalan
konstitusionalitas karena penegakannya tak sesuai mekanisme hukum yang
berlaku.
Pemohon menilai Pasal 65 ayat (8) UU Ketenagakerjaan tidak jelas saat
diterapkan di lapangan karena penafsiran yang berbeda-beda. Misalnya
tentang jenis pekerjaan apa yang dapat diserahkan pada perusahaan
pemborongan dan lembaga mana yang berwenang menentukan terpenuhi atau
tidaknya syarat perusahaan penerima pekerjaan pemborongan.
Pasal 66 ayat (4) juga dinilai multitafsir terkait jenis-jenis
pekerjaan yang dapat diserahkan melalui perusahaan pemborongan, lembaga
mana yang berwenang menentukan terpenuhi atau tidaknya norma UU
Ketenagakerjaan, dan mekanisme penegakkan norma hukum apabila tidak
terpenuhinya syarat-syarat jenis pekerjaan dan legalitas syarat badan
hukum perusahaan penerima pekerjaan pemborongan. Karena itu, pemohon
meminta MK membatalkan pasal-pasal itu.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt53219ae324b44/perjanjian-pemborongan-di-mata-pekerja
Tidak ada komentar