Breaking News

Bolehkah Pengusaha Merotasi Karyawan Secara Sepihak?

http://images.hukumonline.com/frontend/lt4b78d72b89322/lt4fa7a7b94c129.jpg
Penempatan seseorang pekerja/buruh (karyawan) pada suatu jabatan tertentu atau pada suatu jenis pekerjaan tertentu, demikian juga di suatu tempat (lokasi) pekerjaan tertentu, adalah merupakan salah satu isi dalam perjanjian kerja yang seharusnya telah diperjanjikan sejak awal dimulainya hubungan kerja.
Sebagaimana diketahui, dalam Pasal 54 ayat (1) huruf c dan d Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU No.13/2003), bahwa perjanjian kerja antara pengusaha dengan karyawan yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat (antara lain) jabatan atau jenis pekerjaan dan tempat pekerjaan.
Artinya sejak semula dibuatnya perjanjian kerja, telah sepakati bahwa karyawan akan dipekerjakan di suatu jabatan yang ditentukan atau pada suatu jenis pekerjaan tertentu, bahkan telah ditentukan tempat kerjanya dan lokasi/area pekerjaannya.

Dengan demikian, apabila salah satu pihak (khususnya pengusaha) mengubah salah satu/beberapa isi perjanjian kerja (termasuk mengubah jabatan karyawan atau jenis pekerjaannya, atau memindahkannya pada lokasi tempat kerja yang berbeda), maka tentu dapat dikategorikan telah menyalahi substansi perjanjian kerja secara sepihak yang lazim disebut wanprestasi.
Walaupun demikian, bukan berarti pengusaha dan karyawan tidak dapat melakukan perubahan isi perjanjian kerja yang telah disepakati. Berdasarkan Pasal 55 UU No.13/2003 jo. Pasal 1338 supra 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/Burgerlijke Wetboek, perubahan substansi perjanjian kerja bisa saja diubah (diamandemen atau addendum) dengan ketentuan harus atas dasar persetujuan dan kesepakatan di antara para pihak.
Maksudnya, tidak boleh ada perubahan perjanjian secara sepihak tanpa persetujuan pihak lainnya. Kecuali sebelumnya telah dicantumkan (diatur/diperjanjikan) adanya klausul dimaksud (termasuk dalam peraturan perusahaan/perjanjian kerja bersama), bahwa salah satu pihak (khususnya perngusaha) dapat melakukan rotasi (mutasi) sesuai dengan kebutuhan organisasi perusahaan dan oleh karenanya secara-otomatis telah disepakati oleh karyawan (atas dasar klausul dimaksud).
Dari ketentuan tersebut, maka pelaksanaan rotasi (termasuk mutasi) dari suatu jabatan ke jabatan lainnya, atau pindah dari suatu tempat kerja ke lokasi pekerjaan lainnya, termasuk dari suatu unit kerja ke unit kerja/unit usaha lain, dari suatu kota ke kota lainnya, dari suatu daerah/wilayah ke daerah/wilayah kerja lainnya dan sebagainya, dapat dianggap sebagai telah mengubah substansi perjanjian kerja sebagaimana telah diperjanjikan sejak awal, jika tanpa klausul penyimpangan atau kesepakatan untuk itu.
Sehubungan dengan permasalahan Saudara, yang dimutasi dari resepsionis ke bagian restoran, sepanjang secara tegas sejak semula tercantum pekerjaan sebagai resepsionis dalam perjanjian kerja dan kemudian pengusaha mengubah (mutasi) ke bagian restoran, hemat saya dapat dikategorikan telah mengubah isi perjanjian kerja secara sepihak (wanprestasi).
Oleh karenanya, apabila Saudara (karyawan) menolak rotasi (dimutasi), hemat saya sah-sah saja penolakan itu asalkan memang sebelumnya tidak ada klausul penyimpangan dalam perjanjian kerja berkenaan rotasi/mutasi itu sebagaimana yang Saudara sampaikan.
Bilamana pengusaha memaksa melakukan rotasi/mutasi tanpa adanya persetujuan pihak lainnya (karyawan), maka menurut hemat saya, kemungkinan yang bisa terjadi, antara lain adalah bahwa pelaksanaan rotasi (tanpa kesepakatan) dapat diartikan sebagai pengusaha telah memerintahkan karyawan untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan, sementara karyawan hanya bersedia bekerja sesuai dengan isi perjanjian kerja [Pasal 169 ayat (1) huruf e jo. Pasal 93 ayat (2) huruf f jo. Pasal 54 ayat (1) huruf c dan d UU No.13/2003].
Konsekuensinya bila karyawan menolak, bisa menjadi perselisihan hak (norma) bilamana karyawan tetap bertahan pada pendiriannya bekerja di jabatan yang lama (resepsionis). Demikian juga konsekuensi lainnya, karyawan mempunyai hak (dapat) memohon pengakhiran hubungan kerja (PHK) sesuai dengan ketentuan Pasal 169 ayat (1) huruf e UU No.13/2003 dengan alasan karyawan telah diperintahkan untuk bekerja di luar dari pekerjaan yang diperjanjikan dalam perjanjian kerja.
Berkenaan dengan permohonan itu, jika (rotasi tanpa dasar) itu terbukti dan permohonan PHK-nya dikabulkan, maka karyawan berhak mendapat uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU No.13/2003. Demikian juga berhak atas uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak sesuai perhitungan dan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 156 ayat (3) dan (4) UU No.13/2003. Namun sebaliknya, apabila permohonannya tidak terbukti (adanya rotasi), maka karyawan dapat di-PHK secara sewenang-wenang tanpa “izin” penetapan dan tanpa hak “pesangon” kecuali uang penggantian hak [Pasal 169 ayat (3) UU No.13/2003].
Jadi konsekuensinya juga agak berat, dan itu perlu proses yang panjang serta membutuhkan tenaga, waktu dan biaya. Oleh karenanya, pelaksanaan rotasi sepihak oleh pengusaha seyogyanya disikapi dengan baik (positive thinking). Sebaiknya dibicarakan dan lakukanlah komunikasi secara intensif tanpa ada kecurigaan dan tanpa berpikir menyimpang (negative thinking). Ada kemungkinan perusahaan mempunyai tujuan, maksud dan misi yang lebih baik dalam pengembangan karier seorang karyawan untuk diberikan (dipercaya pada) suatu posisi yang cakupannya lebih luas (promosi).
Demikian juga sebaliknya, pihak manajemen hendaknya melakukan dialog secara bipartit (melalui pendekatan personal approach) dan menyampaikan maksud perubahan substansi perjanjian kerja melalui rotasi atau mutasi, termasuk jika melakukan promosi, bahkan mungkin juga demosi.
Demikian penjelasan saya, semoga dapat dipahami.
Dasar Hukum:
2.    Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

sumber : http://www.hukumonline.com/klinik/kategori/lt4a0a9db2b4404

Tidak ada komentar