Said Iqbal: “Buruh adalah penentu, bukan pembantu”
Hingga saat ini saya masih optimis,
pada satu titik tertentu buruh akan menjadi penentu arah Republik ini.
Siapa itu buruh? Buruh adalah setiap orang yang bekerja dan menerima
upah. Kita tahu, ada banyak sebutan untuk orang-orang seperti ini.
Sebagian orang nyaman menyebut mereka sebagai pekerja, karyawan, hingga
pengawai. Namun sesungguhnya mereka sama: buruh.
Dan sebagai buruh, kita tidak mau selamanya hanya menjadi penonton.
Ekonomi bisa tumbuh seperti yang kita nikmati sekarang tidak lepas dari
peran buruh. Tanpa buruh, perekonomian tidak mungkin bisa tumbuh.
Karena mesin tidak bisa bergerak sendiri, maka setiap orang yang menanamkan modal pasti membutuhkan buruh.
Semua teori ekonomi menempatkan buruh dan pengusaha pada satu posisi
yang penting. Itu artinya, buruh menjadi pelaku utama. Hanya di
Indonesia dan beberapa Negara berkembang, posisi buruh yang penting itu
direduksi menjadi sekedar objek dari proses produksi. Ia tidak lagi
ditempatkan sebagai subjek.
Padahal secara ilmiah sudah diakui: buruh adalah pelaku utama dalam
sebuah proses ekonomi. Lantas mengapa ia hanya diposisikan sebagai
‘pembantu’ yang hanya dicari ketika dibutuhkan?
Jika kita mau menarik kebelakang, sejarah
Republik ini tidak lepas dari keberadaan kaum buruh. Gerakan buruh lah
yang secara radikal berani meneriakkan revolusi. Kita mengenal nama-nama
hebat seperti Suryopranoto, Haji Agus Salim, Semaun, Alimin, hingga Tan
Malaka. Nama-nama ini memiliki idiologi buruh. Nama-nama yang memiliki
peran penting untuk Indonesia yang merdeka.
Saya kira, posisi penting kaum buruh ini harus dipahami.
Kalau Anda hanya melihat hari kemarin (orde baru), maka bisa jadi
benar, bahwa posisi buruh tidak menjadi penting. Ia hanya menjadi sekrup
pembangunan. Dibutuhkan ketika menjelang pemilu sebagai vote gater,
kemudian ditinggal dan dipunggungi ketika pemilu selesai.
Tetapi dalam konteks kekinian dan kedepan, saya termasuk yang optimis, kaum buruh akan menjadi penting.
* * *
Hampir semua Negara maju menjelaskan kepada kita, bahwa mereka tidak
pernah menempatkan kaum buruh dalam posisi yang tidak terhormat dalam
konstelasi bernegara. Tidak hanya dalam proses transaksi ekonomi, tetapi
juga dalam politik.
Negara-negara di Eropa menjelaskan, partai yang memiliki posisi kuat
disana adalah partai yang berbasis kaum buruh. Betul, ada sebagian kecil
yang tidak mendukung. Akan tetapi secara mayoritas, buruh mendukung
partai ini.
Selain Eropa, Jepang adalah cerita yang menarik.
Mereka pun mengalami suasana yang sama seperti yang dialami
Indonesia. Salah satu serikat buruh di Jepang dalam melakukan aksinya
lebih gila dari yang ada di Indonesia. Mereka membakar pabrik. Ada satu
ketika, pengusahanya dimasukkan dulu kedalam pabrik, pintu gerbangnya
ditutup lalu dikasih kawat berduri, kemudian sekeliling temboknya
dibakar. Itu terjadi ditahun 50 hingga 60-an. Ketika itu, disana,
membakar pabrik dan menyandera pengusaha adalah sesuatu yang wajar.
Kemudian, Pengusaha mengumpulkan para pemimpin buruhnya untuk diajak
berdiskusi. Dia bilang, “Saya ingin membangun industri. Kamu mau bantu
saya tidak? Kalau kamu mau membantu saya, nanti keuntungannya saya bagi
kepada Anda.”
Ada komitment dari awal antara pengusaha dan buruh. Serikat buruhnnya
diajak berbicara dan berdikusi. Dari sanalah kepercayaan itu terbangun.
Jangan membayangkan Jepang seperti yang sekarang ini. Sebelum sampai
pada titik yang saat ini kita lihat, ada proses panjang yang mereka
lalui. Hal yang sama ketika kita membayangkan gerakan buruh Indonesia
tentang kekinian dan kedepan memakai paradigma lama. Pasti tidak akan
nyambung. Akhirnya kita hanya terkungkung pada paradigma lama yang
membuat kita tidak bisa memandang secara lebih luas.
Tidak mengherankan jika akhirnya terbentuk industrial relation approve.
Pendekatan ditingkat pabrik. Jarang Undang-undang Jepang itu membuat
aturan yang bersifat makro ekomomi. Mereka menetapkan sistem pensiun,
tidak dalam bentuk Undang-undang, tetapi melalui perundingan PKB.
Perundingan kenaikan upah dilakukan ditingkat pabrik. Mendapatkan bonus
ditingkat pabrik. Sistem kerja dirundingkan ditingkat pabrik. Pendek
kata, semua persoalan perburuhan mereka letakkan ditingkat pabrik.
Pengusaha bersedia duduk bareng dengan buruh.
Hanya, memang, disana mensyaratkan apa yang dikenal dengan long live employmend.
Kerja seumur hidup. Sehingga, buruh tidak takut di PHK. Tidak begitu
khawatir akan masa depannya yang suram karena tidak memiliki jaminan
pension. Mereka tidak khawatir susu anaknya tak terbeli, karena sudah
dicukupkan gajinya.
Tetapi ketika hal itu coba diterapkan di Indonesia, yang diambil
hanya yang bagusnya. Tetapi persyaratan untuk menjadi bagus, tidak
diambil.
Saya ambil contoh, kita disuruh membangun hubungan biapartit. Tapi
PHK merajalela. Baru sedikit keras didalam perundingan, ancamannya
adalah kehilangan pekerjaan.
Beberapa tahun berikutnya, ketika Jepang mengalami krisis ekonomi
(pertumbuhan ekonominya stagnan) para pemimpin buruh mulai berfikir
tentang tidak adanya perlindungan terhadap buruh-buruh di Jepang secara
politik. Upah stagnan. Memang, mereka masih bisa hidup. Tetapi tidak ada
kenaikan. Ditambah lagi banyak pemilik modal mulai korupsi, maka
diputuskanlah para pemimpin serikat buruh di Jepang memasuki politik.
Kemenangan yang didapatkan oleh Partai Demokrat Jepang (DPJ) yang
cukup telak dengan perolehan 308 kursi dari 480 kursi di Majelis Rendah (Lower House),
tak lepas dari dukungan kaum buruh. DPJ adalah partai oposisi terbesar,
dengan persiapan yang matang dan juga ditambah dengan situasi rakyat
Jepang yang sudah “frustasi” dengan kondisi kemunduran perekonomian dan
tingginya angka penggangguran dibawah kepemimpinan partai berkuasa LDP.
Sebelum Pemilu, DPJ mengadakan pertemuan dengan Rengo (Pusat Serikat
Pekerja Jepang) guna membuat kesepakatan kunci mendapatkan dukungan kuat
dari serikat pekerja. Selama ini kebijakan pro-bisnis yang diterapkan
partai berkuasa DPJ sangat memberatkan serikat pekerja di Jepang untuk
memperbaiki syarat-syarat dan kondisi kerja para pekerja. Kampanye
pro-rakyat untuk perbaikan kesejahteraan (social welfare)
menjadi alasan kuat serikat pekerja untuk mendukung partai oposisi DPJ
ini. Dalam kesepakatan tersebut diatas Partai Oposisi DPJ berjanji akan
mengurangan jurang perbedaan antara kaya dan miskin, menciptakan
lapangan kerja baru bagi 1,8 juta orang, menguatkan regulasi dan
pengawasan pasar keuangan internasional dan meningkatkan taraf
pendapatan dan kondisi para pekerja harian lepas yang oleh media sering
disebut dengan kelompok pekerja yang miskin (working poor).
Rengo (Japanese Trade Union Confederation) adalah pusat
serikat pekerja di Jepang, dengan jumlah anggota yang mencapai 6,8 juta
orang. Dengan kekuatan jumlah anggota yang demikian signifikan tersebut
tentunya menjadi sekutu yang kuat bagi partai oposisi DPJ untuk
mendapatkan suara. Mereka bekerja keras untuk memenangkan pemilu ini.
Kampanye untuk menempatkan prioritas utama kesejahteraan hidup rakyat
pada kebijakan pemerintah (“People’s Lives First”) menjadi slogan bersama. Dengan semangat dan kesungguhan kuat Rengo mengadakan kampanye kepara anggotanya dengan slogan “the Summer of the Shift in Power” (Musim Panas ini Ganti Kekuasaan).
Keinginan serikat pekerja untuk menganti pemerintahan adalah sangat
kuat, kondisi ekonomi yang semakin terpuruk dan keterdesakan untuk
segera menerapkan kerja yang layak (decent work) dan keseimbangan antara kerja dan kehidupan (work-life balance). Dan juga keamanan pekerjaan (security of employment) adalah juga menjadi subjek isu yang kuat untuk pencapaian stabilitas dan jaminan sosial yang lebih baik.
Mereka memasuki ruang politik untuk
menjaga kebijakan terkait dengan perburuhan. Sehingga politik tidak
lagi menjadi sesuatu yang menakutkan.
Cerita tentang Jepang ini, saya
kira cukup relevan ketika kita ingin membuat contoh tentang serikat
buruh yang juga memainkan peran politik. Sehingga kita bisa melihat
lebih luas, bahwa buruh memang tidak harus selalu berkutat didalam
pabrik. Ia memiliki potensi untuk menjadi penentu arah kebijakan sebuah
Negara. Hal yang sangat mungkin untuk dilakukan di Indonesia. (*)
Tidak ada komentar