Dipecat Karena Cacat Akibat Kecelakaan Kerja
Mengenai pemutusan hubungan kerja (“PHK”), menurut Pasal 151 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”),
pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan
pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK.
Jika
segala upaya telah dilakukan, tetapi PHK tidak dapat dihindari, maka
maksud dari PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh
yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh (Pasal 151 ayat (2) UU Ketenagakerjaan).
Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa PHK merupakan pilihan terakhir,
dan hal tersebut harus dirundingkan antara pengusaha dan pekerja/buruh.
Dalam
melakukan PHK terhadap pekerja, pengusaha harus mengetahui bahwa ada
beberapa hal yang tidak boleh dijadikan alasan dilakukannya PHK, yaitu (Pasal 153 ayat (1) UU Ketenagakerjaan):
a. pekerja/buruh
berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama
waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
b. pekerja/buruh
berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap
negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. pekerja/buruh menikah;
e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
f. pekerja/buruh
mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan
pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama;
g. pekerja/buruh
mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat
buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di
luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha,
atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h. pekerja/buruh
yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan
pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i. karena
perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan,
jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j. pekerja/buruh
dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit
karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka
waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Melihat
pada ketentuan dalam Pasal 153 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, ini berarti
pengusaha tidak dapat mem-PHK pekerja karena cacat tetap akibat
kecelakaan kerja. Apalagi dalam kasus Anda, cacat tersebut tidak
menghalangi pekerja untuk bekerja seperti biasa.
Jika PHK dilakukan atas dasar cacat yang diderita oleh pekerja, maka sebagaimana diatur dalam Pasal 153 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, PHK tersebut batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.
Perlu
Anda ketahui juga, jika pengusaha berusaha melakukan perundingan dengan
pekerja mengenai PHK atas dasar cacat, dan tidak ditemui kata sepakat,
maka pengusaha tidak dapat melakukan PHK terhadap pekerja. Jika tidak
tercapai kesepakatan antara pengusaha dan pekerja, pengusaha hanya dapat
mem-PHK pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial (Pasal 151 ayat (3) UU Ketenagakerjaan).
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
sumber : http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5315fccf7de79/dipecat-karena-cacat-akibat-kecelakaan-kerja
Tidak ada komentar