Cabut Regulasi Penghambat BPJS
Pelaksanaan JKN yang digelar BPJS Kesehatan masih menghadapi berbagai
masalah. DPR juga sudah mencium gelagat potensi munculnya masalah.
Murut Sekjen KAJS, Said Iqbal, pelayanan yang diterima peserta BPJS
Kesehatan, terutama yan sebelumnya menjadi peserta Jaminan Pemeliharaan
Kerja (JPK) Jamsostek dan Askes ketika beralih ke BPJS Kesehatan menjadi
lebih buruk.
Menurut Iqbal, salah satu hal utama yang menyebabkan buruknya
pelayanan itu adalah mekanisme pembayaran yang digunakan BPJS Kesehatan
yaitu INA-CBGs. Mekanisme kendali mutu dan biaya yang diatur lewat
Permenkes Tarif JKN itu mengelompokan tarif pelayanan kesehatan untuk
suatu diagnosa penyakit tertentu dengan paket. Sayangnya, mekanisme
pembiayaan yang dikelola Kementerian Kesehatan itu dinilai tidak mampu
memberikan pelayanan terbaik bagi peserta BPJS Kesehatan. Sehingga
fasilitas kesehatan yang selama ini melayani peserta JPK Jamsostek dan
Askes enggan memberikan pelayanan.
Untuk itu Iqbal menyebut KAJS mengusulkan agar saat ini mekanisme
pembiayaan itu diganti dari INA-CBGs menjadi Fee For Service seperti
yang digunakan sebelumnya oleh PT Jamsostek. “Agar jaringan fasilitas
kesehatan yang selama ini bekerjasama mau melayani peserta BPJS
Kesehatan,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (24/1).
Selain itu, Iqbal menyoroti selama ini peserta Askes berpenyakit
kronis bisa memperoleh rujukan yang berlaku selama tiga bulan dan obat
satu bulan. Tapi saat ini dibatasi sehingga peserta Askes yang beralih
ke BPJS Kesehatan harus bolak-balik ke fasilitas kesehatan untuk
mendapat rujukan dan obat. Sebab, obat yang dibutuhkan hanya bisa
digunakan untuk satu pekan.
Pada kesempatan yang sama presidium KAJS lainnya, Indra Munaswar,
menemukan ada peserta BPJS Kesehatan seperti mantan peserta JPK
Jamsostek, ditolak fasilitas kesehatan yang biasa mereka sambangi.
Fasilitas kesehatan itu berdalih tidak bekerjasama dengan BPJS
Kesehatan. Kemudian, ada peserta yang dipaksa pulang oleh fasilitas
kesehatan setelah tujuh hari dirawat inap. Padahal peserta yang
bersangkutan belum sembuh.
Sebagaimana Iqbal, Indra melihat persoalan itu berpangkal pada
Permenkes tentang Tarif JKN yang intinya mengatur paket biaya dalam
INA-CBGs. Lewat sistem itu Kemenkes membatasi biaya pelayanan kesehatan
peserta. Misalnya, seorang peserta terkena demam berdarah, dengan paket
biaya INA-CBGs, peserta itu harus dirawat inap tujuh hari. Jika dalam
tujuh hari belum sembuh maka peserta harus pulang. “Menkes harus
mengubah regulasi itu karena menghambat pelayanan peserta,” ujarnya.
Sebagai salah satu cara mengatasi masalah tersebut Indra mengatakan
pimpinan BPJS akan melayangkan surat edaran bersama ke seluruh fasilitas
kesehatan yang selama ini melayani peserta JPK Jamsostek. Ia akan
memantau sejauh mana efektifitas surat itu, apakah mantan peserta JPK
Jamsostek bakal dilayani atau tidak oleh fasilitas kesehatan.
Melanjutkan komentar rekannya di KAJS, Timboel Siregar, mengatakan
cek darah dan rontgen tidak masuk dalam tindakan yang dicakup INA CBGs.
Ia mengetahui hal itu saat mengadvokasi seorang peserta di Jakarta yang
ingin cek darah ke Puskesmas. Walau fasilitas tingkat pertama itu
dilengkapi dengan laboratorium sehingga dapat dilakukan cek darah, namun
peserta BPJS Kesehatan itu ditolak. Alasannya, cek darah itu tidak
masuk dalam INA-CBGs. Alhasil Puskesmas yang bersangkutan memberi
rujukan ke fasilitas kesehatan kedua atau Rumah Sakit (RS).
Tapi ketika di RS, Timboel melanjutkan, peserta itu tidak bisa
langsung mendapat pelayanan cek darah karena harus membayar biaya
tertentu. Menurutnya hal itu mestinya tidak terjadi karena semua biaya
sudah ditanggung BPJS Kesehatan. “Paket INA-CBGs harusnya meng-cover cek
darah,” ujarnya.
Lagi-lagi Permenkes tentang Tarif JKN dinilai menjadi penyebab morat
maritnya pelayanan BPJS Kesehatan. Timboel merasa peraturan itu mengatur
semua biaya yang dibayar BPJS Kesehatan kepada fasilitas kesehatan.
Sehingga terkesan BPJS Kesehatan hanya menjadi juru bayar karena
Kemenkes yang mengatur mekanisme pembayarannya. Padahal mengacu pasal 24
UU SJSN, pembayaran di setiap wilayah ditentukan berdasarkan
kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan fasilitas kesehatan. “Permenkes
itu harus dibenahi agar BPJS bisa bernegosiasi dengan fasilitas
kesehatan tingkat pertama dan kedua,” tegasnya.
Masih dalam rangka menjaga agar manfaat yang diterima peserta tidak
berkurang, Timboel mengusulkan agar peserta BPJS Kesehatan yang
sebelumnya tergabung dalam JPK mandiri Jamsostek dikenakan iuran khusus.
Sehingga tidak dihitung per orang, tapi untuk satu keluarga yang
berangotakan lima orang. Menurutnya ketentuan yang ada saat ini
mengurangi manfaat yang sebelumnya diterima peserta JPK mandiri
Jamsostek.
Sebab, mantan peserta mandiri JPK Jamsostek harus membayar iuran
untuk satu orang berdasarkan nominal tertentu. Yaitu ruang perawatan
kelas I Rp59.500, kelas II Rp 42.500 dan kelas III Rp25.500. “Kalau dulu
peserta mandiri JPK Jamsostek hanya membayar iuran Rp96 ribu setiap
bulan untuk maksimal 5 anggota keliuarga,” papar Timboel.
Jika sampai Februari 2014 pemerintah dan BPJS belum menyelesaikan
persoalan tersebut, KAJS akan melakukan tindakan. Seperti melayangkan
gugatan kepada pemerintah dan demonstrasi besar-besaran.
Sebelumnya anggota Komisi IX DPR fraksi Golkar, Poempida
Hidayatulloh, berpendapat Kemenkes terkesan belum mau melepas sepenuhnya
pengelolaan JKN kepada BPJS Kesehatan. Misalnya, INA CBGs yang sampai
saat ini masih dikelola oleh Kemenkes. Padahal, INA CBGs harusnya sebuah
kebijakan yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Sehingga
bermacam kepentingan yang ada dapat diakomodir. “Kalau ada pihak yang
merasa tidak kebagian maka berpotensi tidak akan lancar,” ucapnya.
Selaras hal tersebut Poempida juga mengusulkan untuk merevisi
peraturan pelaksana BPJS Kesehatan seperti Perpres. Sehingga BPJS
Kesehatan punya wewenang penuh untuk menjalankan amanat UU SJSN dan
BPJS.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52e4051a62d3c/cabut-regulasi-penghambat-bpjs
Tidak ada komentar