Breaking News

Apapun Kelas Perawatannya, Pelayanan BPJS Tetap Sama

Sebagian orang mungkin mengira perbedaan ruang perawatan seperti kelas I, II dan III mempengaruhi kualitas pelayanan dan manfaat yang bakal diterima masyarakat. Namun, Direktur Pelayanan BPJS Kesehatan, Fajriadinur, memastikan perkiraan itu tidak berlaku dalam BPJS Kesehatan karena pelayanan kesehatan atau medis yang diberikan kepada peserta tidak melihat kelas perawatannya.

Misalnya, peserta menderita usus buntu. Ketika dilakukan operasi dan perlu dijahit maka tidak mungkin peserta yang mengambil kelas I, II dan III dibedakan kualitas jahitannya. “Pasien yang dirawat di kelas apapun itu sama. Tidak ada perbedaan,” tegasnya dalam jumpa pers di kantor BPJS Kesehatan Jakarta, pekan lalu.
Begitu pula dengan biaya tambahan yang dikenakan kepada peserta ketika mendapat pelayanan. Fajri mengklaim tak ada biaya tambahan dimaksud kecuali peserta bersangkutan meminta sendiri tambahan pelayanan. Misalnya, setelah dioperasi, pasien meminta obat yang tidak ada hubungannya dengan penyakit yang didera seperti vitamin. Jika atas kemauan sendiri, peserta harus membayar biaya tambahan.
Fajri menambahkan tidak ada plafon atau batas biaya tertinggi dalam BPJS Kesehatan. Sebab, mekanisme pembayaran yang digunakan BPJS Kesehatan melalui Ina-Cbgs. Tentu saja tarif yang tercantum dalam paket INA-CBGs untuk kelas I dan II lebih tinggi dibanding kelas III. Walau begitu Fajri mengakui tarif INA-CBGs akan terus disempurnakan oleh tim di bawah Kementerian Kesehatan. Kuncinya adalah pemahaman yang baik dari tenaga medis dan penyedia pelayanan kesehatan (rumah sakit) atas mekanisme pembiayaan. Mekanisme INA-CBGs berbeda dengan pola pembiayaan yang selama ini digunakan di rumah sakit.
Fajri memperkirakan pendaftaran peserta BPJS Kesehatan akan didominasi oleh golongan masyarakat yang sangat membutuhkan pelayanan kesehatan. Misalnya buruh lepas. Buruh lepas bisa mendaftarkan diri dan istrinya yang sedang hamil pada ruang perawatan kelas III yang iurannya setiap bulan Rp25.500 per orang. “Dia mau menjadi peserta BPJS Kesehatan dengan menyisihkan uang yang biasa untuk beli rokok,” tandasnya.
Antusiasme masyarakat untuk mendaftar menjadi peserta BPJS Kesehatan itu membuat kantor-kantor BPJS Kesehatan di berbagai tempat dibanjiri pengunjung. Dua pekan setelah BPJS Kesehatan diluncurkan 1 Januari 2014, total peserta mencapai 116 juta orang. Dari jumlah itu 162 ribu orang peserta baru. “Rata-rata 25 ribu orang per hari yang daftar,” tukas Fajri.
Untuk memudahkan masyarakat, Sejak Senin (13/1) lalu, BPJS Kesehatan secara resmi meluncurkan pendaftaran via website dengan alamat www.bpjs-kesehatan.go.id. Sampai saat ini peserta yang mendaftar lewat website mencapai 20 ribu orang. Walau pendaftaran lewat laman dapat dilakukan dimana saja selama tersedia jaringan internet tapi untuk mengambil kartu peserta harus menyambangi kantor BPJS Kesehatan.
Pendaftaran lewat website belum dapat dilakukan bagi perusahaan yang hendak mendaftarkan pekerjanya menjadi peserta BPJS Kesehatan. Oleh karenanya, pihak perusahaan harus datang membawa data para pekerja ke kantor BPJS Kesehatan. Sebab, mekanisme pembayaran iuran untuk pekerja mengunakan persentase sehingga BPJS Kesehatan harus mengetahui berapa besaran upah per bulan setiap pekerja yang didaftarkan.
Mengevaluasi dua pekan berjalannya BPJS Kesehatan, koordinator advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mengatakan persoalan yang terjadi masih didominasi oleh ketidaksiapan pemerintah dan BPJS Kesehatan. Seperti keterlambatan pemerintah membuat regulasi operasional, berkontribusi memunculkan masalah di lapangan.
Misalnya, sampai sekarang masih banyak pengusaha yang tidak mengetahui berapa iuran yang harus dibayar dan manfaat serta fasilitas seperti apa yang bakal diperoleh pekerja. Bahkan, Timboel menemukan ada pekerja di KBN Cakung yang memegang kartu Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Jamsostek namun harus menanggung selisih biaya yang tidak dicakup BPJS Kesehatan. Akibatnya, pekerja itu dirugikan. “BPJS Kesehatan hanya meng-cover biaya sebatas Rp250 ribu sementara biaya RS yang harus dikeluarkan Rp. 1,6 juta,” tutur pria yang sekaligus menjabat sebagai Presidium KAJS itu.
Timboel melihat peralihan peserta JPK Jamsostek ke BPJS Kesehatan belum dilakukan dengan baik. Peserta JPK Jamsostek yang otomatis beralih ke BPJS Kesehatan harus mendaftar menjadi peserta BPJS Kesehatan. Seharusnya, data peserta JPK yang dimiliki PT Jamsostek yang sekarang menjadi BPJS Ketenagakerjaan dapat digunakan BPJS Kesehatan sebagai basis data membuat kartu kepesertaan. Begitu pula purnawirawan Polri dan TNI, mestinya sudah mendapat kartu peserta BPJS Kesehatan tanpa mendaftar baru.
Dalam pantauan Timboel, lokasi pendaftaran hanya difokuskan pada kantor-kantor BPJS Kesehatan sehingga terjadi penumpukan. Ia menyarankan agar pendaftaran sekaligus pemberian kartu kepesertaan dilakukan lewat Puskesmas atau RS sehingga memudahkan rakyat. “Aksesnya jadi lebih mudah dan tidak terjadi penumpukan,” usulnya.
Anggota Komisi IX DPR, Poempida Hidayatulloh, meragukan keseriusan pemerintah menggelar program Jaminan Sosial Kesehatan Nasional (JSKN) yang digelar BPJS Kesehatan. Ia merasa ada kejanggalan dalam pelaksanaan program tersebut. Misalnya, iuran peserta penerima bantuan iuran (PBI) sebesar Rp19.225 untuk 86,4 juta orang golongan miskin dan tidak mampu. Menurutnya besaran itu tidak akan memberikan insentif yang cukup bagi tenaga medis. Baginya, perhitungan besaran itu secara aktuaria tidak jelas.
“Besaran iuran itu tidak akan memberikan insentif yang cukup bagi kesejahteraan para dokter dan tenaga medis lainnya, sehingga dapat berdampak pada rendahnya mutu pelayanan,” ucap Poempida.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52dd145381360/apapun-kelas-perawatannya–pelayanan-bpjs-tetap-sama

Tidak ada komentar