Buruh dan Ibu di Desa, Tantangan Edukasi Menyusui
KOMPAS.com - Minimnya pengetahuan menyusui masih menjadi kendala dalam pencapaian angka cakupan ASI sesuai standar WHO. Tidak sedikit ibu yang kurang maksimal memberikan ASI karena tidak terpapar informasi tepat. Utamanya kaum ibu di pedesaan bahkan di pinggiran kota juga buruh pabrik.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) 2013 menunjukkan cakupan ASI di Indonesia hanya 42 persen. Sementara WHO mewajibkan cakupan ASI hingga 50 persen.
Direktur Bina Kesehatan Anak Kemenkes RI, Elizabeth Jane Soepardi mengatakan pengetahuan minim kemudian menyebabkan ibu tidak berusaha maksimal memberikan ASI. Ibu lebih memilih yang praktis ketimbang repot memerah atau menyusui anaknya.
Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) bersama Organisasi Buruh Internasional (ILO) dan Better Work Indonesia berupaya menjawab tantangan ini. Kerjasama untuk mengedukasi ibu ini telah berjalan sejak setahun silam tepatnya 12 Desember 2012.
Sebuah program pedoman menyusui dirancang untuk memfasilitasi karyawan pabrik agar tetap bisa menyusui. Sasaran utama program ini adalah perusahaan atau pabrik yang mempekerjakan buruh perempuan agar memgasilitasi mereka untuk menyusui.
Keharusan lingkungan kerja untuk mendukung pemberian ASI itu sendiri sudah tercantum dalam peraturan pemerintah (PP) nomer 33 tahun 2012. Dukungan ini mencakup fasilitas dan aturan yang mempermudah ibu memberikan atau memerah ASI, di tengah jam kerja.
"Kegiatannya hingga kini berupa sosialisasi pedoman. Kami melobi perusahaan besar untuk memperkenalkan pedoman tersebut, bagaimana manual program. Program tidak bisa berjalan kalau perusahaan tidak membuka diri. Karena ada perusahaan yang mempekerjakan buruh perempuan tapi fasilitasnya sangat terbatas untuk menunjang kehamilan, melahirkan, dan menyusui," jelas Sekretaris Jenderal AIMI Farahdibha Tenrilemba Djafar kepada Kompas Health melalui hubungan telepon.
Perusahaan bukan satu-satunya faktor keberhasilan program. Karyawan juga punya peranan dalam berlangsungnya program semacam ini. Selain perusahaan yang mungkin sulit membuka diri, karyawan atau buruh pun memiliki kecenderungan yang sama.
"Honor yang berdasarkan jam kerja menjadi kendala bagi buruh untuk menggunakan waktu kerjanya untuk menyusui misalnya," tutur Diba, sapaan akrabnya.
Selain buruh pabrik, kaum ibu di pedesaan juga menjadi sasaran edukasi menyusui yang perlu mendapat perhatian. Kelas edukasi AIMI yang berlangsung di lebih dari 30 kota menunjukkan adanya peningkatan kesadaran dan pengetahuan di kalangan ibu bekerja menyusui di perkotaan. Namun, masih banyak ibu di Indonesia yang belum terpapar informasi tepat mengenai menyusui.
"Tantangan yang paling besar buat kami adalah bisa menyasar ibu-ibu di desa, di pinggiran, juga ibu yang bertani, berkebun yang mata pencahariannya dari bertani," terang Diba.
Lewat buku
Dengan terbitnya buku BREASTFRIENDS InspirASI 22 Ibu Menyusui oleh AIMI, jangkauan edukasi menyusui diharapkan bisa lebih luas. Keuntungan penjualan buku ini juga akan menjadi donASI untuk mengkampanyekan ASI ke seluruh ibu di Indonesia.
Wakil Ketua Umum AIMI, Nia Umar, mengatakan setelah menyasar kalangan ekonomi menengah ke atas, saat ini AIMI berkonsentrasi pada kalangan menengah ke bawah.
"Kita akan melakukannya lewat sosialisASI maupun pelatihan untuk kader atau masyrakat umum. Tentunya masyarakat harus mau membaca, baik buku maupun leaflet, sehingga informasi yang disediakan bisa sampai," kata Nia.
Penjangkauan ini, kata Nia, akan dilakukan lewat cabang AIMI yang ada di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, D.I. Jogjakarta, Bali, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan DKI Jakarta.
Tidak ada komentar