PHK yang Batal Demi Hukum
PHK yang Batal Demi Hukum
1. Berdasarkan Pasal 151 ayat (2) UU No. 13/2003 jo Pasal 3 ayat (1)
UU No. 2/2004, bahwa setiap pemutusan hubungan kerja (“PHK”) wajib
dirundingkan antara pengusaha (management) dengan pekerja/buruh
(karyawan) yang bersangkutan atau dengan (melalui) serikat pekerja/serikat
buruh-nya. Dalam perundingan dimaksud, di samping merundingkan –- kehendak -–
PHK-nya, juga merundingkan hak-hak yang (dapat) diperoleh dan/atau
kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan masing-masing.
Bilamana
perundingan mencapai kesepakatan, dibuat PB (“Perjanjian Bersama”). Namun,
sebaliknya apabila perundingan gagal, maka pengusaha hanya dapat memutuskan
hubungan kerja (mem-PHK) setelah memperoleh penetapan (“izin”)
dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang
berwenang, dalam hal ini PHI (Pengadilan Hubungan Industrial). Dalam
kaitan (perundingan gagal) ini, wajib dibuat risalah perundingan, karena
risalah tersebut merupakan syarat untuk proses pernyelesaian perselisihan PHK
selanjutnya pada lembaga Mediasi atau Konsiliasi/Arbitrase
(vide Pasal 151 ayat [3] UU No. 13/2003 jo Pasal 2 ayat [3]
Permenakertrans. No. Per-31/Men/VI/2008).
Dengan
demikian, pengusaha tidak boleh (sewenang-wenang) melakukan PHK secara sepihak
tanpa penetapan dari PHI, kecuali PHK dengan alasan-alasan tertentu:
karyawan masih dalam masa percobaan (probation), karyawan
mengundurkan diri secara sukarela atau mangkir yang dikualifikasikan
sebagai mengundurkan diri (resign), pensiun, ataukah meninggal
dunia, dengan ketentuan, PHK yang tanpa penetapan tersebut adalah batal
demi hukum, nietig van rechtswege (vide Pasal 154
jo Pasal 60 ayat [1], Pasal 162 dan Pasal 168, Pasal 166 dan Pasal 167 serta
Pasal 170 UU No. 13/2003).
Sehubungan
dengan kasus Saudara, apabila Saudara dianggap (melakukan) mangkir, maka
pengusaha harus dapat membuktikannya, dengan syarat telah dilakukan pemanggilan
2 (dua) kali secara patut dan tertulis. Kalau belum ada upaya (proses)
pemanggilan, maka Saudara belum (memenuhi syarat untuk) dapat dikatakan
mangkir, walaupun telah tidak masuk –- bolos -– setidaknya dalam waktu 5
(lima ) hari
kerja (lihat Pasal 168 ayat [1] UU No. 13/2003).
2. Apabila Saudara di-PHK (melalui perundingan), maka pada dasarnya
Saudara berhak atas uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa
kerja (jika memenuhi syarat) serta uang penggantian hak –-
sekurang-kurangnya -– sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), ayat (3) dan ayat
(4) UU No. 13/2003. Namun apabila Saudara di-PHK yang dikualifikasikan mangkir,
maka Saudara hanya berhak uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (4) UU No. 13/2003 dan uang pisah sesuai dengan
ketentuan (yang diatur) dalam perjanjian kerja dan/atau peraturan
perusahaan/perjanjian kerja bersama (lihat Pasal 168 ayat
[3] UU No. 13/2003).
Dasar Hukum:
1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial
3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
No.Per-31/Men/XII/2008 Pedoman Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Melalui Perundingan Bipartit.
Tidak ada komentar