Hubungan Industrial PHK Sepihak
Hubungan Industrial
Bagaimana
prosedurnya apabila timbul persoalan industrial dengan diberhentikannya seorang
karyawan secara sepihak dengan tuduhan-tuduhan yang sepihak pula, tanpa
diberikan kesempatan untuk menjelaskan permasalahannya:
1. Langkah-langkah
apa yang perlu diambil oleh seorang karyawan untuk mengajukan proses ini?
2.
Langkah-langkah apa juga yang perlu diambil oleh pihak perusahaan?
Pada prinsipnya, UU No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) dan UU No. 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) telah mengatur
tentang apa saja keadaan dan bagaimana mekanisme pemutusan hubungan kerja
(PHK).
Pasal 151 UU Ketenagakerjaan
menjelaskan bahwa pekerja dan pengusaha harus berusaha semaksimal mungkin
menghindari PHK. Kalaupun tak bisa dihindari, pekerja dan pengusaha harus
berunding untuk mencari kesepakatan. Kalau perundingan itu masih mentok, maka
PHK baru bisa dilakukan setelah ada penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tanpa persetujuan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial menjadi
batal demi hukum. Artinya, PHK itu dianggap sama sekali pernah ada. Hal itu
ditegaskan oleh pasal 155 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
Ketika lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial masih memeriksa proses PHK, pekerja dan
pengusaha tetap harus melaksanakan kewajibannya seperti biasa. Pekerja tetap
bekerja, pengusaha tetap berkewajiban membayarkan hak pekerja. Hal ini tertuang
dalam pasal 155 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan.
Pengusaha dapat menjatuhkan skorsing alias pemberhentian
sementara kepada pekerja yang sedang dalam proses PHK. Namun begitu, pengusaha
tetap berkewajiban membayar hak si pekerja. Demikian isi dari pasal 155 Ayat
(3) UU Ketenagakerjaan.
Dari uraian terhadap pasal 151 dan pasal 155 UU
Ketenagakerjaan di atas, maka keputusan PHK secara sepihak dan tanpa penetapan
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial terlebih dulu, menjadi batal
demi hukum.
Secara hukum, tak ada pembedaan
langkah-langkah yang harus ditempuh untuk proses PHK antara pekerja dan
pengusaha. Keduanya tetap harus merujuk pada UU Ketenagakerjaan dan UU PPHI
jika ingin memutuskan hubungan kerja.
UU PPHI mengatur langkah-langkah yang harus ditempuh
untuk proses PHK. Langkah itu sebagai berikut;
- Perundingan secara bipartit antara perusahaan dengan pekerja atau serikat pekerja. Jika dalam tahap ini kedua pihak sepakat memutuskan hubungan kerja berikut dengan segala hak dan kewajibannya, maka tidak ada masalah.
- Apabila perundingan bipartit seperti dijelaskan pada poin 1 menemui jalan buntu, maka para pihak mencatatkan perselisihan itu ke instansi ketenagakerjaan setempat. Nantinya, pegawai di instansi itu akan menawarkan pekerja dan pengusaha untuk memilih proses mediasi atau konsiliasi. Jika proses mediasi atau konsiliasi itu membuahkan kesepakatan, maka kesepakatan itu dituangkan dalam sebuah perjanjian bersama. Perjanjian itu harus didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Apabila di kemudian hari ada pihak yang melanggar perjanjian bersama, maka pihak yang merasa dirugikan bisa langsung memohonkan eksekusi ke PHI.
- Tapi kalau proses mediasi atau konsiliasi masih juga mentok, para pihak bisa membawa perselisihan PHK itu ke PHI untuk diputuskan. Nantinya, pihak yang merasa tak puas dengan putusan PHI bisa langsung mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
- Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
- Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Tidak ada komentar