Bernuansa Kampanye, Nama SBY Dicabut dari Surat Edaran BPJS Kesehatan
Surat Edaran Direksi BPJS Kesehatan No.0055 Tahun 2014 tentang
Pengiriman Surat Pelanggan Kepada Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI)
dikritik berbagai pihak. Sebab, surat edaran itu dianggap berpotensi
digunakan untuk kampanye partai politik tertentu. Kepala Grup Komunikasi
dan HAL BPJS Kesehatan, Ikhsan mengatakan BPJS Kesehatan merespon
masukan masyarakat tersebut dengan cara merevisi surat edaran itu.
Ikhsan menjelaskan, surat edaran itu tidak ditujukan untuk kampanye,
tapi melakukan sosialisasi kepada peserta PBI agar menggunakan hak
konstitusionalnya untuk mendapat pelayanan kesehatan. Surat edaran itu
diterbitkan direksi setelah melakukan evaluasi pelaksanaan program
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang digelar lewat BPJS Kesehatan.
Salah satu hasil evaluasi itu menunjukan tidak sedikit masyarakat,
khususnya yang sebelumnya menjadi peserta Jamkesmas kebingungan apakah
mereka masih bisa atau tidak mendapatkan pelayanan kesehatan.
Mengingat peserta Jamkesmas beralih menjadi peserta PBI pada program
JKN yang diselenggarakan lewat BPJS Kesehatan, Ikhsan melanjutkan, maka
perlu dilakukan sosialisasi. Salah satu caranya dengan mengirimkan surat
pemberitahuan kepada setiap peserta PBI. “Selama ini sebagian
masyarakat belum mengetahui apakah dirinya masuk PBI atau tidak. Dengan
adanya surat edaran itu maka kami memberitahu kalau masyarakat yang
bersangkutan masuk PBI,” katanya kepada hukumonline lewat telpon, Senin
(24/3).
Namun, Ikhsan mengakui masyarakat menyorot tajam surat edaran itu
karena salah satu isinya menyebut program JKN diluncurkan Presiden SBY.
Sehingga surat edaran itu dituding sebagai kampanye terselubung.
Menanggapi masukan itu maka BPJS Kesehatan merevisi surat edaran
tersebut dan mengganti Presiden SBY menjadi Presiden RI.
Terpisah, Koordinator Advokasi BPJS Watch sekaligus Presidium KAJS,
Timboel Siregar berpendapat surat edaran yang ditujukan kepada Kepala
Divisi Regional I-XII dan Kepala Cabang BPJS Kesehatan itu menekankan
peran Presiden SBY. Sehingga terkesan surat edaran itu bernuansa
politis.
Menurut Timboel, adanya penekanan peran Presiden SBY dalam peluncuran
program JKN sebagaimana disebut dalam surat edaran itu dinilai mengarah
pada kampanye terselubung. Dugaannya itu semakin kuat karena regulasi
internal BPJS Kesehatan itu diterbitkan bertepatan dengan masa kampanye
Pemilu 2014. Apalagi surat edaran itu menginstruksikan Kepala Divisi
Regional I-XII dan Kepala Cabang BPJS Kesehatan memberikan surat
pelanggan atau informasi “berobat gratis” kepada semua peserta PBI
dengan penekanan peran Presiden SBY.
Kemudian, Timboel melanjutkan, surat edaran itu juga memerintahkan
semua kantor cabang BPJS Kesehatan mengadakan pertemuan dalam rangka
sosialisasi dan melibatkan Pemda, Kepala Puskesmas, Kepala desa atau
Lurah setempat. Pertemuan itu paling lambat dilakukan 28 Maret 2014.
Dalam surat edaran itu biaya pencetakan dan distribusi surat informasi
“berobat gratis” yang dilayangkan kepada peserta PBI serta pertemuan
untuk sosialisasi ditanggung BPJS Kesehatan.
Atas dasar itu, Timboel mengindikasikan surat edaran tersebut sebagai
kampanye terselubung Presiden SBY dalam masa kampanye Pemilu legislatif
yang berlangsung 16 Maret sampai 5 April 2014 dengan memanfaatkan BPJS
Kesehatan. “Indikasi kuat tampak pada isi surat edaran tersebut yang
menekankan peran Presiden SBY untuk berjalannya Program JKN yang
diluncurkan 31 Desember 2013. Serta dikonstruksikan bahwa Presiden SBY
lah yang menjadi “pahlawan” beroperasinya BPJS Kesehatan,” tukasnya.
Alih-alih berperan dalam peluncuan program JKN yang digelar BPJS
Kesehatan, Timboel berpendapat di masa pemerintahan Presiden SBY periode
2004-2009, UU SJSN ditelantarkan. Sehingga DPR yang menginisiasi
pembahasan RUU BPJS yang kemudian disahkan 28 Oktober 2011.
Sekalipun UU BPJS sudah disahkan, Timboel mencatat pemerintahan SBY
masih lamban merespon amanat regulasi itu. Khususnya pasal 70 UU BPJS
yang mengamanatkan pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana UU BPJS
paling lambat satu tahun untuk BPJS Kesehatan dan dua tahun BPJS
Ketenagakerjaan sejak UU BPJS diundangkan. Akibat keterlambatan
pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana BPJS, masyarakat dirugikan.
“Membuat rakyat menjadi sulit mendapatkan hak konstitusionalnya,”
ucapnya.
Mengacu kondisi tersebut Timboel merasa aneh jika surat edaran BPJS
Kesehatan itu menekankan peran Presiden SBY terhadap bergulirnya program
JKN melalui BPJS Kesehatan. Padahal, sejak program JKN dimulai, BPJS
Watch sudah menesak agar pemerintah dan BPJS Kesehatan segera melakukan
sosialisasi untuk seluruh masyarakat, bukan hanya kepada PBI. Hal itu
selaras dengan amanat pasal 10 huruf (g) UU BPJS yang menyebut tugas
BPJS memberikan informasi mengenai penyelenggaraan program Jaminan
Sosial kepada peserta dan masyarakat.
Oleh karena itu Timboel heran kenapa surat edaran BPJS Kesehatan itu
diterbitkan pada masa kampanye Pemilu 2014 yang berlangsung 16 Maret-15
April 2014. Kemudian ada pembatasan agar sosialisasi dilakukan paling
lambat sampai akhir Maret 2014.
Mengenai biaya sosialisasi yang ditanggung seluruhnya oleh BPJS
Kesehatan, Timboel mengaku tidak sepakat. Sebab JKN adalah program
pemerintah pusat, maka pembiayaan kegiatan program tersebut harus
ditanggung bukan hanya oleh BPJS Kesehatan, tapi juga pemerintah dengan
menggunakan dana APBN. Ia khawatir surat edaran itu menguntungkan partai
politik tertentu karena dapat dimanfaatkan untuk kegiatan kampanye.
Untuk menyelesaikan persoalan tersebut Timboel menyebut BPJS Watch
mendesak direksi BPJS Kesehatan segera mencabut surat edaran itu.
Kemudian melakukan sosialisasi dengan cara yang lebih baik dan
meminimalisir kemungkinan terjadinya kampanye terselubung. BPJS
Kesehatan perlu menggandeng Puskesmas, Kelurahan dan Kecamatan untuk
pendaftaran peserta sekaligus sosialisasi. Tak kalah penting BPJS Watch
mendorong DJSN, BPK dan KPK untuk memantau penggunaan dana sosialisasi
JKN – BPJS Kesehatan yang berpotensi dipakai untuk kampanye partai
politik tertentu.
“Selama ini BPJS Kesehatan hanya membuka pendaftaran di Kantor BPJS
Kesehatan dan beberapa Bank Pemerintah yang memang sulit bagi rakyat
untuk menjangkaunya dan mendaftar,” papar Timboel.
Terpisah, Guru Besar FKM UI, Hasbullah Thabrany, menilai surat edaran
itu bepotensi ditafsirkan sebagai upaya memanfaatkan JKN untuk kampanye
partai politik tertentu pada Pemilu 2014. Indikasi itu terlihat jelas
karena dalam surat edaran tersebut ada penekanan peluncuran JKN oleh
Presiden SBY. Padahal, JKN baru dilaksanakan ketika pemerintah dan DPR
terus-terusan mendapat tekanan dari serikat pekerja. “Harusnya surat
edaran itu tidak perlu menyebut (program JKN diluncurkan oleh Presiden
SBY,-red) begitu,” usulnya.
Anasir itu makin kuat karena surat informasi “berobat gratis” kepada
86,4 juta peserta PBI itu dilayangkan ke rumah peserta. Ditambah lagi
partai politik yang saat ini berkuasa dalam kampanyenya seolah paling
berperan dalam penyelenggaraan JKN. Misalnya, menyebut anggaran untuk
peserta PBI dinaikan tiga kali. “Padahal naiknya iuran PBI itu karena
tekanan yang kuat dari masyarakat,” tegasnya.
Hasbullah menyarankan harusnya sosialisasi gencar dilakukan oleh BPJS
Kesehatan dan pemerintah sejak beberapa tahun lalu. Selain itu
sosialisasi harusnya menyasar pada rumah sakit (RS), tenaga medis
seperti dokter dan petugas BPJS Kesehatan. Menurutnya sosialisasi itu
penting karena dari pihak penyelengara BPJS, terutama di lapangan belum
memiliki pemahaman yang seragam. Khususnya dalam teknis pelaksanaan
program JKN.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt53305892145fb/dikritik–nama-sby-dicabut-dari-surat-edaran-bpjs-kesehatan
Tidak ada komentar