Breaking News

Tax Amnesty Menutup Kejahatan Pengusaha, Sementara Buruh Kerja Paksa

Tax Amnesty Menutup Kejahatan Pengusaha, Sementara Buruh Kerja Paksa


(gambar: retailnews.asia)
(gambar: retailnews.asia)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) dinilai beberapa Serikat Buruh/Pekerja sangat mengandung ketidakadilan. Ketidakadilan itu terutama terdapat pada pasal 1, 3, 4, 21, 22, dan 23 UU tersebut.
Betapa tidak Undang-Undang yang diciterakan dapat meningkatkan stabilitas perekonomian dan pembangunannegara ini, akan dijadikan sarana pencucian uang hasil kejahatan para pengusaha, seperti korupsi, human trafficking, penggelapan pajak, dan narkoba. “Hasil tindak pidana itu akan dicuci uangnya melalui undang-undang ini,” kata Muchtar Pakpahan, Ketua Umum Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI), Selasa, 26 Juli 2016 saat mengajukan gugatan Judicial Review UU Tax Amnesty di Mahkamah Konstitusi.
Kebijakan Tax Amnesty sesungguhnya dwipersepsi
. Yang pertama, manfaat untuk pemerintah dengan diberlakukannya tax amnesty atau pengampunan pajak ini akan menambah penghasilan penerimaan baru dimana penambahannya dirasa cukup efektif dalam mengurangi penerimaan negara yang semakin berkurang. Dengan diterapkannya tax amnesty atau pengampunan pajak ini maka secara otomatis akan menarik dana yang terdapat di luar negeri ke Indonesia yang menjadikannya masuk ke dalam pencatatan untuk sumber pajak baru. Amnesti pajak yang diasumsikan oleh pemerintah sebanyak Rp. 60 triliun yang tercantum pada APBN 2016, nominal tersebut berasal dari tarif tebusan sebesar 3% dari dana yang masuk yaitu sekitar Rp.2.000 triliun.
Sementara untuk pengembang dan investor kalau dilihat dari sudut pandang pasar bebas, Tax Amnesty diantaranya akan membuat sektor usaha seperti properti mengalami pertumbuhan untuk tahun berikutnya. Kebijakan ini berhubungan dengan pajak yang menjadikan indikator untuk kebangkitan sebuah bisnis properti yang ada di Indonesia. Tax amnesty ini sangat dipercaya untuk memberikan sebuah pengaruh terhadap pengembang untuk dapat terus berhubungan dengan para investor. Para investor selama ini merasa tidak mau untuk menanamkan modalnya di Indonesia karena negara Indonesia mempunyai pajak properti yang tergolong sangat tinggi.
Persepsi yang kedua, Tax Amnesty dianggap mencederai keadilan bagi masyarakat yang selama ini patuh membayar pajak. Apalagi pada tahun 1964 dan 1984, tax amnesty berjalan tidak efektif karena minimnya ketersediaan data perpajakan. Tidak lengkapnya basis data perpajakan membuka kemungkinan petugas pajak untuk mendeteksi kekayaan yang tak dilaporkan. Pengemplang pajak pun tak perlu khawatir akan tertangkap. Terlebih, kekayaan yang tidak dilaporkan pada umumnya berada di luar negeri sehingga benar- benar jauh dari jangkauan petugas pajak.
Seperti yang diungkapkan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) mengatakan, tax amnesty dalam RAPBNP 2016 bukan untuk kepentingan masyarakat. Ia menilai, tax amnesty hanya untuk kepentingan pengusaha yang memiliki dana besar di luar negeri. Pengampunan pajak hanya akan menjadi karpet merah untuk koruptor dan konglomerat yang mendapat keuntungan di Indonesia. Iya menyampaikan, tax amnesty hanya dijadikan bahasa kampanye oleh politisi untuk memuluskan proyek-proyek swasta.
Sementara untuk para buruh/pekerja Tax Amnesty ini tidak ada pengaruh apa-apa, terutama terhadap kesejahteraan buruh. Yang ada buruh akan ditekan untuk kerja paksa dalam rangka memenuhi kepentinganpengusaha. Bayangkan saja di era globalisasi ekonomi ini perusahaan mana yang bertindak murni berdasarkan UU PT ataupun ketentuan Pasar modal? adanya UU tersebut juga adalah pintu masuk untuk pasar bebas, karena kebijakan pemerintah seperti angin belaka. Dari tahun ke tahun kebijakan pemerintah tidak ada dampak positif yang signifikan terhadap perburuhan. Hal ini diakibatkan tingkat kestabilan ekonomi negara terus menerus menurun karena kebijakan moneter ataupun inflasi yang sangat tinggi kendati Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 yang baru baru saja diberlakukan tentang pengupahan memang menjanjikan kenaikan upah, tapi itu bukan kenaikan tapi pembodohan.
UU Tax Amnesty dinilai menciptakan peluang Indonesia menjadi negara pencuci uang hasil tindak pidana. Dasar gugatan Judicial Review adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 atas perbaikan UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, selain menyebutkan kontribusi wajib pada negara dari perorangan ataupun badan, pajak juga bermakna iuran rakyat kepada negara untuk pembangunan. Namun dasar konstitusional yang paling pokok yang harus menjadi pertimbangan Hakim MK adalah Pasal 27 UUD 1945 yang menyebutkan setiap warga negara punya kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan, tanpa kecuali. UU Tax Amnesty ini harus dibuktikan bahwa UU tersebut dibuat hanya untuk konglomerat, pengemplang pajak, dan pencuci uang sehingga kontradiktif dengan UUD 1945.
Secara logika sederhana, Tax Amnesty ibarat kita membeli jeruk di pasar, lalu kita ingin mendapatkan diskon, dan untuk mendapatkan diskon tersebut kita harus bayar uang tebusan kepada penjual. Bukankah hal tersebut permainan pedagangnya sendiri untuk untung sendiri? Semoga Perburuhan dan Ketenagakerjaan Indonesia semakin mandiri dan bermasyarakat madani, penuh kreatifitas dalam memenuhi kebutuhan hidup, mampu berdikari kendati itu harus ditempuh secara perlahan. (Ef)

Tidak ada komentar