Breaking News

Dipecat Karena Cacat Akibat Kecelakaan Kerja

http://images.hukumonline.com/frontend/lt506aec66ed27e/lt506bc9aa28ce7.jpg
Mengenai pemutusan hubungan kerja (“PHK”), menurut Pasal 151 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK.
 
Jika segala upaya telah dilakukan, tetapi PHK tidak dapat dihindari, maka maksud dari PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh (Pasal 151 ayat (2) UU Ketenagakerjaan).
 
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa PHK merupakan pilihan terakhir, dan hal tersebut harus dirundingkan antara pengusaha dan pekerja/buruh.
 
Dalam melakukan PHK terhadap pekerja, pengusaha harus mengetahui bahwa ada beberapa hal yang tidak boleh dijadikan alasan dilakukannya PHK, yaitu (Pasal 153 ayat (1) UU Ketenagakerjaan):
a.    pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
b.    pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c.    pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d.    pekerja/buruh menikah;
e.    pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
f.     pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
g.    pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h.    pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i.      karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j.     pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
 
Melihat pada ketentuan dalam Pasal 153 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, ini berarti pengusaha tidak dapat mem-PHK pekerja karena cacat tetap akibat kecelakaan kerja. Apalagi dalam kasus Anda, cacat tersebut tidak menghalangi pekerja untuk bekerja seperti biasa.
 
Jika PHK dilakukan atas dasar cacat yang diderita oleh pekerja, maka sebagaimana diatur dalam Pasal 153 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, PHK tersebut batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.
 
Perlu Anda ketahui juga, jika pengusaha berusaha melakukan perundingan dengan pekerja mengenai PHK atas dasar cacat, dan tidak ditemui kata sepakat, maka pengusaha tidak dapat melakukan PHK terhadap pekerja. Jika tidak tercapai kesepakatan antara pengusaha dan pekerja, pengusaha hanya dapat mem-PHK pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (Pasal 151 ayat (3) UU Ketenagakerjaan).
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
sumber : http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5315fccf7de79/dipecat-karena-cacat-akibat-kecelakaan-kerja

Tidak ada komentar