Breaking News

Apakah Mandor yang Memimpin Buruh Lepas Mirip dengan Outsourcing?

Dalam industri konstruksi, banyak perusahaan yang menggunakan jasa mandor. Mandor adalah orang yang memimpin buruh-buruh lepas. Dengan menggunakan sistem mandor, perusahaan konstruksi hanya berhubungan dengan mandor saja sebagai pihak ketiga, tidak perlu berhubungan/bertanggung jawab terhadap buruh. Mandor ini bersifat perorangan dan tidak berbadan hukum. Ada dua tipe mandor, yang pertama adalah mandor yang dikontrak untuk melaksanakan sebagian pekerjaan dan mandor yang dikontrak untuk menyediakan tenaga kerja. Sejauh pengamatan saya, banyak mandor yang tidak membayar buruhnya sesuai dengan UMP dan tidak pernah mengikutsertakan buruh dalam jaminan ketenagakerjaan (JHT, JK, JKM, dan JPK). Sejauh manakah kesesuaian sistem mandor ini dengan peraturan perundangan yang berlaku khususnya perundangan yang berkaitan dengan outsourcing? 

http://images.hukumonline.com/frontend/lt4b78d72b89322/lt4fa7a7b94c129.jpg
Dalam konsepsi hukum perdata, penyerahan pelaksaan pekerjaan dari suatu pihak (pihak yang memborongkan, atau aanbestederkepada pihak lainnya (si pemborong, atau aannemeruntuk menyelenggarakan suatu pekerjaan yang ditentukan (termasuk yang lazim diterapkan dalam industri konstruksi) disebut dengan pemborongan pekerjaan (de overeenkomst tot hetaanneming van werk) [vide Pasal 1601b jo Pasal 1601 Kitab Undang-Undang Hukum PerdataBurgerlijke Wetboek atau BW].
 
Ketentuan mengenai pemborogan pekerjaan ini diatur rinci dalam Bagian Keenam mengenai Pemborongan Pekerjaan (Pasal 1604 - Pasal 1616 BW) sebagai subbagian dari Bab Ketujuh A tentang Perjanjian-perjanjian Untuk Melakukan Pekerjaan, Buku Ketiga BW.
 
Demikian juga diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan lainnya, seperti Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012 (“Perpres 54/2010”), dan secara khusus ada juga yang diatur dalam AV-1941 (Algemene Voorwaarden voor de Uitvoering bij Aanneming van Openbare Werken in Indonesia -1941). Selanjutnya juga ada pengaturan pola kemitraan (outsourcing dan sub-kontraktor) yang diamanatkan dalam Pasal 26 dan Pasal 28 Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (“UU UMKM”).
 
Sejak lahirnya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU No. 13/2003), terdapat perubahan signifikan. UU No. 13/2003 ini mengatur khusus tentang penyerahan pekerjaan-pekerjaan borongan yang bersifat continue (terus-menerus ada) dan dikerjakan oleh pekerja/buruh perusahaan penerima pemborongan (vendor) atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh (service provider) yang menyatu dengan karyawan perusahaan pemberi pekerjaan atau perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh (user) dalam satu proses produksi untuk pelaksanaan pekerjaan suatu jenis produk yang sama dan/atau pada tempat kerja yang sama.
 
Dalam Pasal 64 UU No. 13/2003 disebutkan, suatu perusahaan (user) dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya (vendor/service provider) melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.
 
Maksudnya, penyerahan pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dalam Pasal 64 UU No. 13/2003 adalah pekerjaan yang bersifat continue dan/atau terusmenerus ada, serta bersifat tetap. Pekerjaan dimaksud dibedakan atas kegiatan-kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi (barang/jasa), yang dalam undang-undang disebut dengan “kegiatan penunjang” [vide Pasal 65 ayat (2) huruf c UU No. 13/2003], dan kegiatan-kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi, atau dalam undang-undang disebut “kegiatan jasa penunjang” [lihat Pasal 66 ayat (1) UU No. 13/2003].
 
Dalam Penjelasan Pasal 66 ayat (1) UU No. 13/2003 disebutkan, bahwa yang dimaksud dengan kegiatan jasa penunjang, adalah kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi, yakni kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan. Dalam arti, bukan dalam alur proses produksi (barang/jasa). Kegiatan tersebut, antara lain:
a.    usaha pelayanan kebersihan (cleaning service);
b.    usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh, catering;
c.    usaha tenaga pengamanan (security/satuan pengamanan);
d.    usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan; serta
e.    usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.
 
Dengan demikian secara a-contrario, kegiatan penunjang adalah bagian-bagian/sub-bagian kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi dari suatu produk (barang/jasa) yang bukan dan tidak termasuk kegiatan pokok (core business) akan tetapi hanya kegiatan supporting dan merupakan profesionalisme dan kompetensi suatu perusahaan tertentu [vide Pasal 65 ayat (2) huruf c jo. Pasal 66 ayat (1) UU No. 13/2003].
 
Berdasarkan ketentuan dan penjelasan di atas, dengan demikian setelah adanya UU No.13/2003, penyerahan pelaksanaan pekerjaan suatu perusahaan (aanbesteder) kepada perusahaan lain (aannemer) saat ini dibedakan menjadi:
1.    penyerahan pekerjaan yang bersifat sporadik dan hanya temporary; dan
2.    penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan yang bersifat terus-menerus ada (continue) yang melekat pada suatu produk yang sama atau dilakukan pada tempat kerja yang sama.
Ini dibedakan lagi, menjadi:
a.    perjanjian pemborongan pekerjaan (Pasal 65 jo. Pasal 64 UU No. 13/2003 dan Bab II Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No. 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain – “Permenakertrans Nomor 19 Tahun 2012) dan
b.    perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh (Pasal 66 jo. Pasal 64 UU No. 13/2003 dan Bab III Permenakertrans Nomor 19 Tahun 2012).
 
Jenis penyerahan pelaksanaan pekerjaan pada butir 2 di atas itulah yang lazim disebut outsourcing. Maksudnya, dalam pelaksanaan pekerjaannya, ada karyawan internal user (yang lazim disebut karyawan organik), dan ada karyawan eksternal dari luar (out source) yang merupakan karyawan non organik dari vendor/service provider, karyawan inilah yang disebut -dengan istilah yang salah- “tenaga outsourcing”.
 
Pada penyerahan pekerjaan yang bersifat sporadik dan hanya temporary, pengaturannya masih tetap merupakan domain hukum perdata (dalam BW atau dalam Perpres 54/2010 dan AV-1941).
 
Sedangkan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan yang bersifat terus menerus ada (continue) yang melekat pada suatu produk yang sama atau dilakukan pada tempat kerja yang sama, secara prinsip juga tunduk pada ketentuan hukum perdata sepanjang tidak diatur khusus dalam UU No. 13/2003 dan peraturan terkait.
 
Namun jika telah diatur khusus dalam UU No. 13/2003 dan peraturan pelaksanaanya, maka berlaku azas kekhususan (lex specialis derogate legi generali). Artinya, ketentuan yang bersifat khsusus (dalam UU No. 13/2003) mengenyampingkan ketentuan yang bersifat umum (dalam BW).
 
Lebih lanjut tentang pekerja outsourcing dapat dilihat dalam artikel Hak-hak Pekerja Outsourcing (Alih Daya).
 
Berkenaan dengan permasalahan yang Saudara sampaikan terkait mandor yang bersifat perorangan dan tidak berbadan hukum, bukan konteks outsourcing sebagaimana dimaksud Pasal 64 - Pasal 66 UU No. 13/2003 dan Permenakertrans Nomor 19 Tahun 2012. Ini karena salah satu persyaratan untuk dapat menjalankan usaha sebagai perusahaan outsourcing adalah badan usahanya harus berbentuk PT. 
 
Oleh karena itu, mandor yang Anda maksud tunduk pada ketentuan hukum perdata (dalam BW) dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait, seperti Perpres 54/2010 dan AV-1941 serta UU UMKM.
 
Pada peraturan perundang-undangan dimaksud, tidak ada ketentuan dan persyaratan mengenai bentuk usahanya (entity) harus berbentuk badan hukum (legal entity). Bahkan entity kontraktornya pun dapat berbentuk bukan badan hukum atau sekedar perusahaan perorangan. Berbeda halnya dengan Pasal 6 ayat (1) Permenaker No. 06/Men/1985 tentang Perlindungan Pekerja Harian Lepas yang mengatur ketentuan mengenai bentuk entitas penerima pemborongan (sub-kontraktor), bahwa perusahaan kontraktor (main contractor) atau sub-kontraktor (sub-con) yang mempekerjakan pekerja harian lepas (Buruh Harian Lepas) harus berbadan hukum. Ketentuan tersebut sudah dicabut dan tidak pernah diatur lagi dalam peraturan perundang-undangan yang menggantikannya.
 
 
Perlindungan hak
 
Permasalahan lainnya, bagaimana hubungan kerja pekerja dengan mandor dan perlindungan hak-hak tenaga kerja yang dipekerjakannya?
 
Persoalan hubungan kerja antara sub-kontraktor atau mandor dengan pekerjanya, tetap berlaku ketentuan yang diatur dalam UU No. 13/2003. Termasuk ketentuan mengenai jenis hubungan kerjanya, yang lazimnya dapat dilakukan melalui perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT) sepanjang memenuhi syarat dan ketentuan dalam Pasal 59 UU No. 13/2003.
 
Demikian juga mengenai jaminan sosialnya, sepanjang memenuhi ketentuan syarat kepesertaan (saat ini) dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 Jaminan Sosial Tenaga Kerja, khususnya Pasal 2 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 84 Tahun 2013 jo. Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-150/MEN/1999 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu jo. Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-196/MEN/1999 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pada Sektor Jasa Konstruksi, maka wajib didaftarkan sebagai peserta jamsostek.
 
Selanjutnya mengenai upahnya yang tidak sesuai dengan ketentuan upah minimum, hemat saya tinggal melaporkan kepada pihak yang berwajib bilamana terdapat pelanggaran-pelanggaran hak-hak normatif karyawan untuk selanjutnya dilakukan kontrol dan law enforced.
 
Demikian jawaban saya, semoga dapat dipahami.
 
Dasar Hukum:
1.    AV-1941 (Algemene Voorwaarden voor de Uitvoering bij Aanneming van Openbare Werken in Indonesia -1941);
7.    Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012;
8.    Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No. 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain;
9.    Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-150/MEN/1999 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu;
10.Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-196/MEN/1999 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pada Sektor Jasa Konstruksi;

Tidak ada komentar