Breaking News

Seminar Presiden FSPMI

Ruang seminar yang semula tenang mendadak gaduh ketika dia datang. Separuh lebih peserta yang hadir didalam seminar itu segera berdiri. Jumlahnya tak kurang dari seratus orang. Semuanya perempuan. Tanpa diperintah mereka serentak mengeluarkan handphone dan kamera digital, siap memotret dirinya. Dengan senyumnya yang khas, laki-laki itu memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengambil potret dirinya. Siang itu, laki-laki itu terlihat berkharisma. Berwibawa.

Meski kalangan pengusaha banyak yang membenci dirinya, namun dia sangat dicintai kaum buruh. Kehadirannya selalu dinantikan. Dimanapun dia hadir, selalu banyak orang yang menyambutnya dengan antusias. Mereka dengan tekun mendengarkan setiap kalimat yang terucap dari bibirnya. “Membuat saya semakin bersemangat,” kata seorang kawan perihal orasinya yang berapi-api. Meski sudah mendengar berkali-kali, rasanya tak pernah bosan.
Dia adalah Presiden FSPMI. Said Iqbal. Siang itu, mengenakan kemeja pendek motif kotak-kotak, Iqbal menghadiri Seminar yang diselenggarakan Direkoktorat Perempuan FSPMI di Padepokan Pencak Silat TMII, tanggal 7 Maret 2014. “Buruh perempuan memiliki peran yang sangat penting dalam gerakan serikat buruh di Indonesia,” ujarnya dengan intonasi lambat. Kalimat pertama ini segera disambut dengan tepuk tangan meriah. Tak butuh waktu lama bagi semua yang hadir untuk larut dalam kebersamaan. Tak ada jarak. Sangat dekat. Sehangat sahabat.
Dia mengaku salut dengan semangat para pekerja perempuan. Dalam setiap aksi, tak jarang buruh perempuan hadir dalam jumlah besar. Ditambah lagi posisi buruh perempuan yang seringkali memiliki peran ganda: di keluarga dan tempat kerja. Selain menjalankan pekerjaan di perusahaan, mereka masih harus mengurus pekerjaan di rumah yang seperti tak ada habisnya. Dan ketika kemudian buruh perempuan itu aktif didalam serikat, terlibat dalam aksi, tentu saja hal itu menjadikannya sebagai sosok yang hebat.
“Perubahan tidak akan pernah kita capai kalau kita diam. Karena kita bergerak kemudian ada perubahan,” demikian Iqbal menegaskan.
Said Iqbal menekankan hal ini berulang-ulang.  Baginya, perubahan hanya akan datang jika kita berjuang. Apa yang disampaikannya bukanlah omong kosong. Apalagi, ini sejalan dengan ajaran Islam, “Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum, jika kaum itu sendiri tidak ada merubahnya.” Dan tidak hanya berorasi. Iqbal melakukannya dengan tauladan. Dirinya pun bergerak. Berada ditengah-tengah massa aksi. Ia bukan tipe pemimpin yang senang berada dibelakang meja.
Kepada para perempuan anggota FSPMI yang hadir dari berbagai daerah itu, Iqbal mengingatkan, betapa dulu kaum buruh tidak memiliki keberanian seperti sekarang. Dulu, kaum buruh terbiasa datang ke pabrik hanya karena merasa itu sebuah kewajiban. Berangkat pagi-pagi, bahkan sebelum anak-anak kita terbangun dari tidur. Tak jarang pulang sudah larut malam. Buruh berbaik hati dengan perusahaan. Patuh. Berharap majikan akan mengerti dengan sendiri untuk kemudian mencukupi kebutuhan hidupnya, karena memang separuh hidupnya sudah ia habiskan untuk perusahaan. Tetapi meskipun bertahun-tahun menjadi buruh yang baik dan patuh, kenaikan upah yang tinggi hanya sebatas mimpi. Paling banter Sebatas diskusi.
Padahal, menurut Iqbal, buruh datang ke pabrik bukan tidak ada yang diberikan. Buruh datang untuk bekerja. Menggerakkan mesin-mesin produksi dengan sepenuh tenaga. “Kita datang memberikan sumbang sih kepada perusahaan. Ada kerja kita dalam keuntungan yang mereka dapatkan,” kata Iqbal.
Saya melihat beberapa orang matanya berkaca-kaca ketika mendengarnya. Ada air mata yang mengalir. Teringat betapa berharganya peran buruh dalam sebuah perusahaan. Namun tak jarang semua pengorbanan itu tersia-siakan.
“Kita tidak mau kehidupan kita terus-menerus seperti itu. Lawan! Bergerak! Maju!” Tepuk tangan bergemuruh ketika Iqbal meneriakkan tiga kata itu. Teriakan hidup buruh membahana dari seratusan buruh perempuan. Tiga kata yang diucapkan dengan sepenuh hati itu mampu membangkitkan semangat: Lawan. Bergerak. Maju.
Kata-kata itu telah menjelma sebagai mantra.
Iqbal bercerita, di Universitas Indonesia dan ITB, banyak mahasiswa yang datang ke kampus dengan mengendarai mobil pribadi. Itu artinya, perguruan tinggi terbaik di Indonesia, mayoritas mahasiswanya adalah anak orang kaya. Memang ada orang miskin yang kuliah disana. Akan tetapi jumlahnya sangat minim.
Hal itulah yan kemudian mengusik rasa keadilannya.  “Apakah karena dia buruh, kemudian dia tidak punya kesempatan untuk menyekolahkan anaknya di universitas terbaik di negeri ini? Apakah hanya karena dia terlahir dari rahim seorang buruh, kemudian kelak kembali menjadi buruh seperti yang dialami oleh ibu bapaknya?”
Itu tidak boleh lagi terjadi. Buruh harus memiliki kesempatan yang sama dengan masyarakat yang lainnya. Berhak untuk hidup sejahtera. Karena itu, jangan menunggu orang lain yang akan memberikan kesejahteraan itu kepada kita. Sekarang kita lah yang harus menentukan nasib kita sendiri.
“Dan karena itu juga, tahun 2015 nanti kita meminta agar upah naik sebesar 30%,” lanjut Iqbal. Laki-laki yang juga menjadi Presiden KSPI ini sadar, tahun 2015 masih lama. Namun perjuangan terhadap upah harus kita lakukan dari sekarang . Menurut Iqbal, ada beberapa alasan yang bisa disampaikan, mengapa upah tahun depan harus naik 30%. Pertama, pertumbuhan ekonomi masih terjadi. Itu artinya, masih ada penyerapan lapangan kerja. Kedua, saat ini Indonesia menjadi salah satu Negara terkaya. Bahkan kekayaan kita menempati urutan ke-15 tetapi upah buruhnya berada di urutan ke-69 dari 169 negara. Maka menjadi hal yang wajar jika kemudian daya beli harus dinaikkan. Apalagi, menurut Iqbal,  “Upah buruh di Indonesia hanya sepertiga dari upah buruh Thailand.”
Selain upah, sepanjang tahun 2014 ini FSPMI juga akan memperjuangkan jaminan kesehatan untuk seluruh rakyat. Termasuk didalamnya memastikan jaminan pensiun untuk seluruh buruh formal bisa berjalan sesuai dengan amanat UU BPJS.
FSPMI juga menegaskan dukungannya terhadap perjuangan PRT, Pekerja Rumah Tangga. Ketika terjadi sebuah diskriminasi di negeri ini dan kita tidak berjuang untuk membebaskan mereka, maka tinggal menunggu waktu diskriminasi itu akan terjadi kepada kita. Karena itulah, kata Iqbal, kita harus peduli.
“Kita ingin agar harkat dan martabat manusia Indonesia diangkat,” tegas Iqbal.
Pekerja rumah tangga, yang oleh banyak orang disebut pembantu rumah tangga itu, mengalami banyak sekali diskriminasi. Mereka bekerja dengan upah yang rendah dan jam kerja yang panjang. Seolah mereka menjadi manusia kelas dua. Karena itu, FSPMI merasa terpanggil untuk turun tangan. Mendesak agar RUU Perlindungan PRT dan Buruh Migran segera disahkan menjadi Undang-undang. Disamping itu, FSPMI juga mendesak agar pemerintah segera meratifikasi Konvensi ILO No 189 (Tentang kerja layak bagi PRT).
Ketika PRT mendapatkan upah yang layak, tentu hal itu akan mendorong mereka yang bekerja disektor formal untuk mendapatkan upah yang layak juga. Lantas Iqbal menyebut, ukuran upah layak itu sederhana. Buruh bisa menabung. Tidak seperti sekarang, yang ketika habis gajian sudah habis untuk membayar hutang. (Kascey)
sumber : http://fspmi.or.id/100-perempuan-dan-1-laki-laki.html

Tidak ada komentar