Breaking News

Said Iqbal: Jika Negara Ini Mau Maju, Konsumsi Domestik Harus Ditingkatkan

Sudah banyak kritik yang kita sampaikan terkait dengan investasi versus kedaulatan dan kesejahteraan rakyat. Saya rasa semua kritik itu disampaikan dengan data dan fakta. Dan bukan hanya kritik semata yang kita lontarkan. Tetapi kita juga menyampaikan solusi untuk menyelesaikan permasalahan. Buruh punya gagasan. Ia tidak hanya bisa teriak di jalanan.
Yang ingin saya tawarkan adalah, jangan menjadikan tolak ukur pertumbuhan ekonomi semata-mata hanya dari sisi investasi. Perhatikan juga sisi konsumsi. Bagaimana mungkin kita menggenjot tumbuhnya investasi sementara rakyat tak memiliki daya beli. Tentu saja, yang saya maksud konsumsi disini adalah konsumsi yang real.
Menurut saya, konsumsi yang real adalah konsumsi domestik.

Coba anda lihat Negara-negara seperti Cina, Brasil, Jepang, atau Singapura. Negara-negara itu adalah contoh negara yang ketika tingkat ekonominya tumbuh, maka daya beli masyarakatnya juga tumbuh.
Barang-barang yang mereka produksi laku dalam pasar dalam negerinya. Masyarakatnya punya daya beli dan memang mau membeli produk domestiknya Ada nasionalisme disitu. Cinta produk dalam negeri dan bukan bangga menjadi konsumen produk impor.
Lihatlah Jepang, setelah Restorasi Meiji. Restorasi meiji merupakan suatu gerakan pembaruan yang dipelopori oleh Kaisar Mutsuhito, atau Kaisar Meiji. Restorasi Meiji dikenal juga dengan sebutan Meiji Ishin, Revolusi, atau pembaruan. Restorasi Meiji merupakan suatu rangkaian kejadian yang menyebabkan perubahan pada struktur politik dan sosial Jepang.
Restorasi ini terjadi pada tahun 1866 sampai 1869, tiga tahun yang mencakup akhir zaman Edo dan Awal zaman Meiji. Restorasi Meiji bisa dikatakan sebagai jaman “pencerahan” Jepang setelah selama 200 tahun lebih menutup diri dari hubungan luar di bawah kepemimpinan rezim Tokugawa. Restorasi Meiji menjadi penanda bahwa Jepang mulai melangkah sebagai negara yang maju. Sejalan dengan arti dari kata meiji sendiri: ”yang berpikiran cerah”.
Banyak kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam dibidang industri, pemerintahan, pendidikan maupun militer akibat dari Restorasi Meiji. Kemajuan-kemajuan tersebut dicapai hanya dalam kurun waku kurang dari 50 tahun. Saat itu, di Jepang, produk dari dalam negerinya sendiri, dibeli oleh bangsanya sendiri. Ingat tidak dengan mobilk kijang Kotak Sabun, dibeli oleh orang jepang sendiri. Mau sejelek-jeleknya mobil Jepang, pokoknya dia bangga beli produk sendiri. Didorong oleh hasrat mengejar ketertinggalan, banyak pengusaha industri Jepang memperbesar industrinya tanpa perhitungan yang matang. Akibatnya berbagai jenis industri melimpah-ruah memenuhi pasaran dalam negeri Jepang sendiri. Harga barang pun turun dengan cepat. Rakyat Jepang sebagai konsumen menjadi makmur.
Mari kita lihat Cina, ketika Deng Xiaoping mengatakan “Saya tidak peduli, apa itu kucing putih atau kucing hitam, sejauh kucing itu bisa menangkap tikus, itu kucing yang baik.” Setelah itu rakyat Cina bekerja bahu membahu. Akhirnya Negeri Cina makin maju seperti sekarang. Nasionalisme Cina menjadikan ekonomi tumbuh, bahkan diatas dua digit. Semua produk Cina dibeli oleh orang Cina. Motor, misalnya, mau hancur kek, dia beli juga.
Brasil adalah contoh yang terbaru, dengan Lula da Silva (2002-2011). Ketika Lula da Silva, yang  berlatar buruh pabrik dan menjadi pemimpin Partai Buruh Brasil itu akhirnya terpilih sebagai Presiden Brasil pada 2002 (setelah tiga kali gagal dalam pemilu), untuk mengatasi krisis ekonomi ia menerapkan kebijakan menaikkan upah buruh, mendorong investasi pemerintah, dan perhatian baru pada kebijakan industri. Pernyataan pertama di hadapan publik yang disampaikan Lula: akan menaikkan upah minimum buruh secara riil sebesar 50 persen dalam lima tahun.
Bukan sekedar nominalnya yang dinaikkan. Tetapi upah riil-nya yang naik. Anda bisa bayangkan, setelah 10 tahun Lula berkuasa, upah di Brasil naik 300 persen.
Caranya, pemerintah memilih industri manufaktur yang paling penting di Brasil, dalam arti mempekerjakan paling banyak buruh dan mampu mendorong pertumbuhan di sektor lainnya. Pajak produk industri kemudian diturunkan sehingga harga produk murah, agar pengusaha dapat menaikkan upah buruhnya dengan pada saat sama juga mencegah terjadi pemutusan hubungan kerja.
Untuk mendorong konsumsi, saban hari Presiden Lula berpidato di televisi mendorong rakyatnya membelanjakan upahnya dengan membeli produk dalam negeri untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestiknya. Program perlindungan sosial juga dikembangkan. Jaminan pensiun diperluas, hingga 85,7 persen warga usia 65 ke atas menikmatinya, dengan total 34 juta penduduk yang menikmati,termasuk 8,2 juta penduduk pedesaan.
Dampak langsung dari upaya tersebut adalah pengurangan Koefisien Gini secara konsisten dari 2003 sampai 2010 saat da Silva menjabat. Dengan berkurangnya Koefisien Gini, berarti ketimpangan antara si miskin dengan si kaya menjadi berkurang. Produksi berbagai produk Brasil meningkat signifikan, buruh lebih sejahtera, dan PHK dapat dihindari.
Kemudian lihatlah kebijakan Singapura. Mereka menaikkan upah untuk meningkatkan produktivitas. Kalau anda pergi ke buruh-buruhnya Singapura, mereka punya daya beli. Daya beli itu adalah upah.
Tetapi upah yang naik, secara bersamaan harus diimbangi dengan pengendalian harga-harga, membuka belenggu hambatan-hambatan inveasti.
Yang terjadi sekarang, sudahlah habatam investasi dibiarkan, ditambah dengan kebijakan upah murah. Jelas kita tidak akan bisa terima!
Baru menaikkan 42%  tahun 2013 lalu, sekarang sudah diturunin lagi. Saya kira, seharusnya bukan begitu cara berfikirnya. Itu cara berfikir yang ngawur.
Dan itu adalah tugas pemerintah untuk melakukannya. Jangan mengatakan kami ini hanya bisa nuntut upah naik dan tidak pernah bicara turunkan harga.
Sekali lagi, kita setuju dengan inveasti. Tetapi jangan dijadikan investasi yang tumbuh sebagai cara untuk mengukur pertumbuhan ekonomi. Konsumsi domestik juga harus dinaikkkan. Dan cara untuk mengukur konsumsi domestik adalah purchasing power. Daya beli. (*)

Tidak ada komentar